JAKARTA : Dalam hal mencari ilmu, Islam tidak mempersoalkan masalah gender apakah ia perempuan atau laki-laki. Muslimin dan Muslimah berkewajiban mencari ilmu dan meyakini kebesaran Allah dengan mempelajari segala ciptaan-Nya yang berada di sekiling manusia. Kewajiban setiap umat Islam untuk mencari ilmu juga diperkuat dengan Hadist Nabi yang mengatakan, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim (laki-laki dan perempuan),” (Sahih Bukhari).
Pesan Rasulullah ini begitu kuat melekat dan menjadi nilai yang berurat akar bagi umat Islam. Bagi para Muslimah khususnya, nilai-nilai ini memberikan keuntungan tersendiri karena memungkinkan mereka untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Jika dilihat dalam konteks sekarang ini, tidak mengherankan kalau banyak kaum perempuan Muslim memiliki gelar pendidikan tinggi dan berkiprah dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal ini bukan perkiraan semata, karena sudah didukung dengan data statistik yang cukup akurat dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), badan internasional PBB yang bergerak di bidang pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan.
Nilai-Nilai Islam Memungkinkan Kaum Perempuan Peroleh Pendidikan Tinggi
Rehab Eman, seorang Muslimah yang bergelar sarjana muda di bidang teknik sipil dan bergelar master di bidang studi Islam dari Yerusalem, memuji nilai-nilai Islam yang telah memberinya inspirasi untuk menuntut ilmu di bidang ilmu pengetahuan. Saudara-saudara laki-laki Eman termasuk ayahnya, memberikan dukungan padanya untuk bekerja keras menyelesaikan pendidikannya.
“Dosen-dosen saya laki-laki, para pendukung saya laki-laki, sponsor saya laki-laki. Mereka yakin akan kemampuan saya,” ujar Eman.
Data statistik yang baru-baru ini dirilis UNESCO menunjukkan, jumlah lulusan sarjana di bidang ilmu pengetahuan ternyata relatif lebih banyak dari kalangan perempuan Muslim dibandingkan dengan kalangan perempuan Barat. Namun, media Barat pada umumnya, sangat jarang mengulas tentang keberhasilan dan pretasi-prestasi positif yang diraih para Muslimah.
Dalam beberapa kasus, media massa mengambil keuntungan dari kemampuan tim produksinya untuk memenuhi fantasi-fantasi dan stereotipe yang diinginkan dan berada dalam pikiran kalangan non-Muslim. Orang-orang Barat sangat senang dengan stereotipe bahwa Islam menindas kaum perempuannya. Ajaran Islam yang menegaskan tentang persamaan hak dan keadilan bagi kaum perempuan, seringkali dirusak oleh persaingan nilai-nilai budaya Barat yang tidak ada dasarnya dalam kitab suci Islam.
Berkaitan dengan kemajuan kaum perempuan Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan, UNESCO dalam laporan hasil kongres internasional bertema ‘Peran Kaum Perempuan Muslim dalam Ilmu Pengetahuan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik’ mengutip pernyataan Raja Maroko, Raja Mohamed VI. Dalam kongres yang diselenggarakan tahun 2000 lalu itu, Raja Mohamed VI mengatakan, “ Perkembangan yang terintegrasi atas prinsip-prinsip Islam dan ilmu pengetahuan harus dicapai terlepas dari persoalan gender.”
Kaum perempuan Muslim, sudah banyak yang menjadi pemimpin di lapangan ilmu pengetahuan, menerima sejumlah penghargaan, mendapatkan hak paten dan memberikan kontribusi yang tidak sedikit di sektor ilmu pengetahuan yang didominasi kaum laki-laki di seluruh dunia. Namun, lagi-lagi mata orang-orang Barat tidak tertuju ke para Muslimah ini, seolah mereka tidak eksis. Sebuah tendensi yang bertujuan agar prestasi kaum perempuan Muslim tidak tereksplorasi dan mendapatkan pujian.
Faktanya, negara semodern AS berada di urutan belakang dari 6 negara Islam dalam hal persentase jumlah kaum perempuan yang menjadi sarjana. Keenam negara Islam yang jumlah ilmuwan perempuannya melebihi AS antara lain, Bahrain, Brunei Darussalam, Kyrgyzstan, Lebanon, Qatar dan Turki. Maroko, tercatat sebagai negara yang prosentase jumlah lulusan sarjana wanitanya di bidang enginering lebih besar dibandingkan dengan AS.
Kendala Muslimah di Bidang Pendidikan
Kendala yang dihadapi para Muslimah di negara-negara Islam dalam hal pendidikan, pada dasarnya sama dengan kendala yang dihadapi kaum laki-lakinya, yaitu masalah kemiskinan, buta huruf, ketidakstabilan politik dan kebijakan dari negara-negara asing yang kuat. Penjelasan mengenai hal ini bisa dilihat dari data perbandingan total penduduk yang ‘berpendidikan’ dari seluruh negara yang ada di dunia. Tingkat buta huruf yang tinggi dan rendahnya jumlah penduduk yang mendaftar ke sekolah dasar di negara-negara miskin menyebabkan rendahnya jumlah lulusan sarjana di negara-negara itu dibandingkan dengan negara-negara yang lebih kaya seperti Amerika Utara dan Eropa.
UNESCO dalam laporannya baru-baru ini mendefinisikan negara-negara yang rasio tingkat pendaftaran ke sekolah-sekolah dasarnya tergolong rendah antara lain Afrika (di bawah 40%), Asia Barat (di bawah 60%) dan Asia Timur (di bawah 75%).
Sementara itu, para pakar yang anti Islam, hampir semuanya mengaitkan rendahnya tingkat pendidikan dengan tipe-tipe ajaran agama tertentu.
Lebih lanjut, UNESCO Institute for Statistic (UIS) menyimpulkan adanya hubungan yang erat antara tingkat kekayaan sebuah negara dengan pendidikan rakyatnya. Menurut data UIS, negara-negara yang tingkat pendapatannya tergolong menengah-tinggi dan negara-negara yang tingkat pendapatannya tinggi, rasio pendaftaran tingkat sekolah dasarnya diatas 90%. Negara-negara miskin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menjadikan pendidikan sebagai prioritas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Mengapa sebuah negara menjadi miskin?”
Kalau dikaitkan dengan kekhawatiran bahwa penyebabnya karena keyakinan agama tertentu, dibandingkan dengan persoalan buta huruf, kemiskinan tidak lagi relevan jika dihubung-hubungkan dengan ajaran Islam. Bukti tertulis dalam Islam yang menyatakan pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan dan lak-laki, lebih dari cukup. Persoalannya, banyak orang yang belum menyadari bahwa kemiskinan bisa melampui batas budaya atau agama apa saja.
Meskipun banyak kendala di sektor pendidikan yang dialami negara-negara non-Muslim saat ini, dunia Islam mampu bertahan atas serangan-serangan yang mereka alami dalam dekade terakhir ini, yang secara keseluruhan berpengaruh pada keamanan dan kualitas generasi muda Muslim dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam perang di Afghanistan dan Irak, sekolah-sekolah dari semua tingkatan di bombardir dan dihancurkan oleh pasukan militer AS. Layanan kesehatan publik lumpuh, insfrastruktur-infrastruktur dirusak dan tidak diperbaiki kembali.
Di sisi lain, negara-negara maju dan organisasi-organisasi ekonomi internasional seperti World Bank dan IMF, terus memiskinkan negara-negara yang sudah miskin dengan dalih bantuan pinjamannya. Kebusukan mereka terungkap lewat pengakuan John Perkins, seorang ekonom yang menyebut dirinya Economic Hit-Man. Dalam sebuah wawancara di radio, Perkins mengungkapkan bahwa tugasnya adalah membangun Imperium Amerika dengan meningkatkan hutang negara-negara lain dengan cara apapun.
“Imperium itu tidak seperti imperium yang kita kenal dalam sejarah dunia. Imperium ini dibangun melalui manipulasi ekonomi, kelicikan, penyelewengan dan membujuk untuk mengikuti gaya hidup kami, melalui orang-orang yang tugasnya menghancurkan perekonomian sebuah negara. Saya banyak terlibat dalam konspirasi ini,” ungkap Perkins.
Dari sini jelas terlihat adanya peran negara-negara besar dan kuat yang sengaja menghambat perkembangan pendidikan rakyat suatu negara dengan memiskinkan negara bersangkutan, sehingga negara itu tidak mampu lagi membiayai sarana dan prasarana pendidikannya.Dan rakyatnya yang miskin tidak punya cukup biaya untuk mengenyam pendidikan ke jenjang yang tinggi.
Persoalan Ketidakadilan Gender
Perbedaan prosentase yang besar antara laki-laki dan perempuan yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi memang masih terjadi, tapi hal ini tidak hanya ada di negara-negara Islam saja, karena, juga ditemui di negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Misalnya di Swiss (44%), Rwanda (37%), Korea (36%), Bhutan (34%), Kamboja (29%) dan Liechtenstein (27%).
Di Tunisia, negara yang 98 persen rakyatnyaIslam, jumlah wanita yang sekolah sampai ke jenjang yang tinggi, besarnya 5 persen lebih tinggi dari jumlah laki-lakinya. Hal serupa terjadi di Malaysia (55%), Lebanon (54%), Yordania dan Libya (51%). Jumlah wanita Bahrain yang menuntut ilmu ke jenjang tinggi bahkan lebih besar 6 persen dibandingkan di AS. Dari data ini bisa dikatakan, jika pendidikan adalah kebebasan, maka para Muslimah di Bahrain lebih memiliki kebabasan dibandingkan dengan wanita Amerika.
Fakta lain terungkap, bahwa yang menyebabkan rintangan bagi para Muslimah untuk mengenyam pendidikan tinggi, bukanlah ajaran-ajaran Islam tapi lebih pada kebijakan pemerintah terhadap warganya yang Muslim. Sebagai contoh, yang terjadi di Turki dan Prancis yang membatasi hak-hak warga Muslim dengan dalih sekularisme.
Menurut organisasi hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), pembatasan-pembatasan yang dilakukan termasuk larangan bagi Muslimah yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi setiap tahunnya. Dalam laporannya pada tahun 2004 lalu, HRW menyatakan,”Larangan terhadap pilihan seorang wanita (Muslimah) dalam berpakaian adalah sebuah diskriminasi dan melanggar hak-hak mereka atas pendidikan, kebebasan berpikir, hati nurani dan agama mereka serta hak-hak pribadi.”
Inilah para Muslimah yang Sukses sebagai Ilmuwan
Profesor Samira Ibrahim Islam
UNESCO menominasikan Samira Ibrahim sebagai salah satu ilmuwan kehormatan dalam daftar Ilmuwan Dunia tahun 2000. Wanita asal Arab Saudi ini memberikan banyak kontribusi di bidang obat-obatan dan menjabat sejumlah posisi akademis yang penting di negara asalnya serta menjadi duta internasional di Organisasi Kesehatan Dunia-WHO. Ia juga menjadi tokoh pelopor pembangunan infrastruktur pendidikan sejak awal tahun 1970-an, untuk mendukung kaum perempuan yang ingin belajar sains di institusi-institusi pendidikan tinggi di Arab Saudi.
Sameena Shah
Saat ini, Sameena aktif di kegiatan Workshop on Machine Learning Canada, sebuah bengkel kerja berskala internasional. Ia mengembangkan inovasi algoritma dalam proses belajar kognitif melalui komputerisasi. Sameena bersama timnya sudah mengembangkan hasil temuannya di New Delhi, India. Prestasi akademis lain yang pernah dicapainya adalah ‘Global Optimizer’ yang sedang menunggu untuk dipatenkan. Sameena kini sedang melanjutkan studinya di Delhi untuk gelar Doktor.
Profesor Dr. Bina Shaheen Siddiqui
Dr. Siddiqui sudah memberikan kontribusi yang besar di bidang obat-obatan dan pertanian lewat penelitiannya dan hasil pengklasifikasian yang dilakukannya dalam bidang keanekaragaman materi pembibitan. Ia juga sudah mendapatkan sejumlah paten atas obat-obatan anti kanker dan produk biopestisida hasil penemuannya. Selain itu, ilmuwan Muslimah yang satu ini juga sudah menulis sekitar 250 artikel risetnya dan salah satu pendiri Organisasi Ilmuwan Wanita Negara Ketiga. Atas prestasinya itu, Pakistan Academy of Science memilihnya sebagai ‘Fellow’.
Bina Shaheen Siddique mendapatkan gelar PhD dan Doktor di bidang sains dari Universitas Karachi, Pakistan. Sebagai ilmuwan, ia sudah dianugerahi berbagai perhargaan bergengsi seperti Khawarizmi Internasional Award dari negara Iran dan penghargaan Salam Prize untuk bidang kimia.
Catatan sejarah membuktikan adanya kontribusi kaum perempuan Muslim di lapangan ilmu pengetahuan dan kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu, sama seperti halnya kaum laki-laki. Sementara di AS , pada era 1890-an saja, kaum perempuan masih belum bisa menikmati pendidikan tinggi, misalnya untuk menjadi dokter.
Sebagai gambaran, berdasarkan data UNESCO tahun 2005, prosentase sarjana wanita bidang sains di negara-negara Islam dibandingkan dengan negara maju seperti AS dan Jepang adalah sebagai berikut: Bahrain 74%, Bangladesh 24%, Brunei Darussalam 49%, Kyrgyzstan 64%, Libanon 47%, Qatar 71% dan Turki 44%. Sementara di AS, hanya 43% dan Jepang 25%. (ln/islamicity)
No comments:
Post a Comment