HASIL IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA IV
Tentang
MASAIL QANUNIYAH
(Hukum dan Perundang-undangan)
1. RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan
2. RUU Mahkamah Agung
3. RUU Pilkada
4. RUU KUHP
4. RUU KUHP
5. RUU Keseteraaan Gender
6. RUU Kerukuan Umat Beragaa
7. RUU Pendidikan Tinggi
8. RUU Jaminan Produk Halal
A. RANCANGAN UNDANG-UNDANG
1. RUU Hukum Materiil Dalam Lingkungan Peradilan Agama Bidang Perkawinan
Dalam konteks Islam, aturan hukum yang terkait dengan masalah perkawinan diatur dalam ketentuan fikih. Dan ikhtiar untuk men-taqnin ketentuan fikih munakahah tersebut sudah dilaksanakan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Secara de facto, aturan yang terdapat dalam KHI telah menjadi rujukan hukum bagi penyelesaian masalah-masalah pernikahan umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, agar hukum materiil yang terdapat dalam KHI tersebut mengikat para hakim dalam menyelesaikan perkara perkawinan dan segala akibat hukumnya, maka dipandang perlu KHI tersebut ditingkatkan menjadi Undang-Undang.
Ijtima Ulama MUI memberikan beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan, perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.
2. Untuk memberikan kepastian hukum, dan untuk melaksanakan ketentuan UU Perkawinan, adalah suatu keharusan dan kemendesakan untuk menyusun suatu undang-undang yang secara khusus mengatur ketentuan keagamaan dalam pelaksanaan perkawinan. Pranata hukum yang berupa KHI bidang perkawinan, yang selama ini dijadikan pijakan dalam masalah perkawinan sudah mendesak untuk disempurnakan dan pengaturannya menjadi Undang-Undang tersendiri.
3. Materi KHI yang selama ini menjadi pijakan ketentuan perkawinan perlu segera disusun dalam law drafting yang sempurna, dan ditingkatkan statusnya.
4. Untuk itu, DPR-RI bersama Presiden sebagai pembentuk UU diamanahkan untuk segera menyelesaikan UU hukum materiil peradilan agama di bidang perkawinan.
5. Menegaskan rekomendasi Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III Tahun 2009 yang menyepakati hal sebagai berikut:
a. Agar materi Kompilasi Hukum Islam yang dimuat dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 bidang perkawinan ditingkatkan statusnya menjadi UU.
b. Untuk mencegah terjadinya perkawinan yang tidak sesuai dengan hukum agama dan tidak sejalan dengan dasar Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan atau melanggar ketentuan larangan perkawinan, dinyatakan batal atau dapat dibatalkan berdasarkan gugatan yang diajukan ke pengadilan.
c. Masalah perbedaan agama yang terjadi karena salah satu pihak keluar dari agama Islam (murtad) maka perkawinannya menjadi fasad, dan dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembatalan ke pengadilan.
d. Harus ada larangan secara tegas dan sanksi pidana bagi laki-kali muslim maupun perempuan muslimah yang melangsungkan perkawinan mut’ah.
e. Perlu adanya sanksi pidana bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal terkait dengan masalah perkawinan.
6. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar tetap dipertahankan karena sudah sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945.
2. RUU TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Bahwa saat ini tengah berlangsung pembahasan RUU tentang Perubahan UU Mahkamah Agung di DPR yang dimaksudkan untuk meningkatkan dan menyempurnakan ketentuan hukum mengenai MA. Penyempurnaan UU MA tersebut tentu untuk mendukung ikhtiar peningkatan kinerja MA dan memenuhi harapan rakyat yang mendambakan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan.
Untuk itu Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV mendukung dan mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut dan mengesahkannya menjadi UU.
Terkait dengan itu, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI mengusulkan beberapa poin di bawah ini untuk dimasukkan ke dalam materi pembahasan RUU Perubahan UU tentang MA tersebut mengingat materi tersebut menjadi kebutuhan umat Islam Indonesia.
1. MA, dalam hal lingkungan PA, tetap berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perceraian dan hadlanah yang selama ini menjadi kewenangannya dan telah dilaksanakan dengan baik serta memenuhi harapan umat Islam.
2. PA memiliki kewenangan absolut sebagai peradilan negara yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ekonomi syariah.
3. Untuk menjamin eksistensi hukum Islam yang telah menjadi hukum positif perlu diwadahi dalam UU Mahkamah Agung, baik susbstansi maupun struktur pimpinan sesuai dengan lingkungan peradilan yang ada.
3. RUU PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
Bahwa saat ini DPR tengah membahas RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah. MUI menyambut baik dan mendukung terbitnya RUU tersebut mengingat ketentuan hukum tersebut merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam rangka mendorong terselenggaranya pemilu kepala daerah yang demokratis, menjunjung tinggi hukum, dan mewujudkan situasi dan kondisi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintah daerah yang profesional dan bertanggungjawab serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, RUU tersebut juga diharapkan dapat merespon dinamika politik dan dialektika hubungan sosial yang terimbas dari diberlakukannya sistem pemilihan kepala daerah saat ini.
Terkait dengan hal tersebut, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI, berpandangan sebagai berikut:
a. Gubernur, Bupati, Walikota sebaiknya dipilih oleh DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota, dan wakilnya dipilih oleh Gubernur, Bupati, Walikota terpilih.
b. Dipilihnya Gubernur, walikota, bupati oleh DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota tidak serta-merta membuat DPRD memiliki kewenangan untuk menjatuhkan Gubernur, walikota, bupati. Oleh karena itu, RUU tersebut harus secara eksplisit menegaskan posisi Gubernur, bupati, walikota yang sejajar secara politik dengan DPRD Propinsi/Kota/Kabupaten.
Pandangan tersebut didasarkan bahwa lebih banyak mudharatnya pelaksanaan pilkada sekarang dibanding dengan manfaatnya (meninggalkan madharat lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaat) dan prinsip idza ta’aarada mafsadataani ru’iya a’dhamuha dharaaran bi irtikaabu akhaffu dararain
Secara aqli pandangan ini juga didasarkan pada: 1) dalam banyak kasus terdapat kekacauan teknis, mulai dari aspek pendaftaran pemilih, pendaftaran dan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan dan pengesahan pasangan calon terpilih ; 2) Mahalnya ongkos pilkada. (Penyelenggara dan calon); 3) Maraknya politik uang; 4) Terjadinya politisasi birokrasi; 5) Rendahnya kualitas dan kurang efektifnya kepemimpinan KDH; 6) Banyak KDH/WKDH terkena masalah hukum, yakni sebanyak 271 orang (17,9%) dari 753 pasangan KDH & WKDH terpilih, selama pelaksanaan Pilkada tahun 2005 – 2012.
4. RUU KUHP
Bahwa saat ini proses penyusunan RUU KUHP oleh pemerintah telah menghasilkan naskah yang dipandang komprehensif. UU KUHP menjadi dambaan seluruh komponen bangsa mengingat sampai saat ini hokum materiil kita masih merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah tentu tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan nilai-nilai yang hidup di tanah air, termasuk ajaran agama.
Terkait dengan ini, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV berpandangan sebagai berikut.
1. Mendukung sepenuhnya ikhtiar Pemerintah yang telah menyusun RUU KUHP untuk menggantikan KUHP peninggalan penjajah.
2. Menekankan bahwa dalam penyusunan dan dalam pembahasannya di DPR, RUU KUHP tersebut hendaknya berpatokan kepada terpelihara dan terlindunginya lima kebutuhan pokok manusia, yaitu (1) memelihara agama; (2) melindungi jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan; dan (5) memelihara harta.
3. Agar masyarakat segera merasakan manfaat ketentuan hukum materiil dalam bidang pidana ini, maka MUI mendorong agar Pemerintah segera menuntaskan pembahasan rancangan KUHP serta segera menyampaikannya kepada DPR untuk dibahas dan disahkan.
4. Agar dicantumkan dalam pasal KUHP, salah satu asas dan prinsip keadilan yang menetapkan bahwa tindak kejahatan yang berkaitan dengan harta benda milik pihak lain, seperti pencurian, perampokan, pengrusakan, korupsi dan lain-lain, hukum pidananya disertai dengan pengembalian materi, atau mengganti yang sama nilainya, dan dikembalikan kepada yang berhak.
5. RUU KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
MUI memberikan perhatian khusus terhadap munculnya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang menjadi inisiatif DPR. Munculnya RUU ini telah menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat, antara kelompok yang mendukung dan menolak RUU tersebut. Pada prinsipnya kelompok yang mendukung RUU KKG ini berasal dari kalangan liberal yang mengacu pada kepentingan pihak-pihak yang mengusung paham liberal dan mengacu pada hukum internasional sekaligus menafikan kepentingan nasional, karakter bangsa, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, dan kearifan lokal yang menjadi khazanah kekayaan masyarakat sejak ratusan tahun lalu.
Sementara itu kelompok yang menolak RUU KKG mengacu pada pentingnya menjaga dan memelihara nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, termasuk ajaran agama dan kebudayaan. Kelompok ini mencermati apabila RUU ini disahkan maka akan terjadi perubahan, perombakan, bahkan pembongkaran terhadap tatanan kehidupan masyarakat dan struktur masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, yang selama ini ada (existing), yang mengacu pada ajaran Islam.
Setelah mencermati setiap materi RUU tersebut, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV berkesimpulan sebagai berikut.
1. Bahwa apabila RUU KKG ini diloloskan untuk disahkan oleh DPR dan diundangkan oleh Presiden, maka dampaknya yang akan terjadi adalah:
a. Isteri mempunyai kedudukan dan peran yang sama dengan suami dalam rumah tangga, baik sebagai “kepala rumah tangga” dan pencari nafkah keluarga;
b. Mengubah besarnya bagian pembagian warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menjadi sama besar bagiannya; konsekuensinya hukum kewarisan Islam akan dihapus.
c. Mengubah wali nikah di mana perempuan dimungkinkan menjadi wali nikah;
d. Membolehkan terjadinya perkawinan sejenis;
e. Membolehkan terjadinya poliandri.
f. Membuka penafsiran pengembangan pribadi termasuk homoseksual dan pengembangan lingkungan sosial termasuk komunitas homoseksual, gay, dan lesbian;
2. RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai Barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial, dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika, dan moral. RUU KKG tidak mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencantumkan Pancasila sebagai sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila. Demikian pula RUU KKG tidak mengacu, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, antara lain bertentangan dengan Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29 UUD 1945.
3. Selain itu MUI berpandangan bahwa berbagai kebutuhan dan kepentingan serta hak-hak kaum perempuan telah terwadahi dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, antara lain dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
4. Atas dasar itu semua, Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV menyatakan bahwa RUU KKG bertentangan dengan ajaran agama Islam, Pancasila, dan UUD 1945. Oleh karena itu Ijtima’ Ulama mendesak DPR untuk menarik kembali RUU tersebut serta tidak meneruskan proses RUU tersebut.
6. RUU KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Untuk semakin memperkuat bangunan kerukunan dan kesatuan Indonesia, dimana kerukunan antar umat beragama menjadi syarat mutlak di dalamnya, maka keberadaan UU Kerukunan Umat Beragama menjadi begitu penting dan mendesak. Mengingat, bangunan dan payung hukum yang mengaturnya harus mengikuti perkembangan sosial budaya yang terjadi di masyarakat yang semakin bercorak mengglobal. Untuk itu Ijtima Ulama Komisi Fatwa IV meminta pemerintah dan DPR RI untuk segera menuntaskan pembahasan RUU tersebut dan mengesahkannya menjadi Undang-undang.
Ijtima Komisi Fatwa MUI mengusulkan dimasukkannya beberapa point berikut ini di dalam materi UU Kerukunan Umat Beragama:
1. Yang dimaksudkan dengan agama dalam UU Kerukunan umat beragama adalah agama-agama yang diakui di Indonesia yaitu: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, tidak termasuk aliran-aliran kepercayaan.
2. UU Kerukunan umat beragama mengatur tentang kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama.
3. UU Kerukunan Umat Beragama tidak boleh berbenturan dengan ajaran-ajaran dasar dan pokok dari agama.
4. Pemerintah memfasilitasi dan menjadikan lembaga-lembaga agama dalam fungsi regulasi dan pengawasan serta evaluasi kerukunan umat beragama.
5. Harus ada peraturan yang jelas antara domain ritual dan domain non ritual di dalam masing-masing agama agar tidak terjadi bias dalam program kerukunan umat beragama.
6. Untuk Memeliharan dan menjaga agar tidak terjadi benturan antara umat beragama perlu diatur dengan jelas dan tegas:
a. Ketentuan tentang tata cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan Di Indonesia mengacu pada Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 / No. 1 Tahun 1979
b. ketentuan tentang pendirian rumah ibadah yang mengacu pada ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 / No. 8 Tahun 2006.
c. Ketentuan tentang larangan intervensi terhadap masalah-masalah intern umat beragama oleh umat agama lain.
7. RUU PERGURUAN TINGGI
Terkait dengan pembahasan RUU Perguruan Tinggi (PT) yang sedang berlangsung di DPR, ijtima’ ulama memandang penting menyampaikan sikap dan pandangannya sebagai wujud partisipasi memberikan masukan dan ikut mengambil tanggungjawab agar kelak dapat dibentuk UU PT yang sesuai dengan kepentingan bangsa, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kebtuhan bangsa ke depan dalam jangka panjang.
1. Dalam RUU perlu ditegaskan Perguruan Tinggi tidak bersifat komersialisasi dan mempertegas keberpihakan kepada masyarakat yang kurang mampu.
2. Pasal 10 ayat (1) Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis. Rumpun ilmu pengatahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: (a) ilmu agama menjelaskan antara lain; teologia, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tasawuf, ilmu pendidikan Islam, sejarah dan peradaban Islam, ilmu fiqh, pemikiran Islam, dan ilmu dakwah. MUI berpendapat bahwa untuk menghindari dikotomi ilmu pengetahuan, maka MUI mengusulkan penambahan kata akar, menjadi: Rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah akar, pohon, cabang, dan ranting yang berkembang secara alami dan disusun secara sistematis, dan menambah ekonomi islam sebagai rumpun ilmu, karena saat ini telah menjadi bagian penting dalam mendukung perekonomian nasional.
3. Pada pasal 44 ayat (2) terdapat klausul tentang hasil penelitian wajib disebarluaskan dengan cara diseminarkan, dipublikasikan dan / atau dipatenkan oleh perguruan tinggi, kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, mengganggu, dan / atau membahayakan kepentingan umum. MUI mengusulkan dengan menambah kata dan / atau Suku Agama, Ras, Antargolongan (SARA) ysang berpotensi memicu konflik dan membahayakan kepentingan umum.
4. Dalam RUU terdapat pasal 89, yakni perguruan tinggi Negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini MUI menolak, karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, hal ini akan berdampak adanya intervensi pihak asing ke NKRI. Selain itu, dalam RUU ini sudah diatur pola kerjasama pengembangan akademik dengan Negara lain.
8. RUU JAMINAN PRODUK HALAL
Masalah Jaminan Produk Halal saat ini pada dasarnya telah diatur oleh berbagai peraturan antara lain: (1) UU. No. 7 tahun 1996 tentang Pangan; (2) UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (3) Peraturan Pemerintah N0. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, (4) Keputusan Menteri Kesehatan RI No.: 82/Menkes/SK/I/1996 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Label Makanan yang direvisi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.:924/Menkes/SK/VIII/1996; (5) dan beberapa peraturan lain yang dikeluarkan oleh departemen Pertanian. Namun, peraturan-peraturan yang ada masih bersifat parsial, dan banyak hal yang belum tercover dengan peraturan-peraturan tersebut diantaranya: (1) peraturan lebih banyak mengatur hanya produk-produk dengan kemasan berlabel, sedangkan produk-produk selain itu, seperti produk rumah makan dan produk siap saji lainnya, belum tercover dalam peraturan yang ada; (2) masalah berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah yang berhubungan dengan produk halal tidak jelas dan tidak spesifik; (3) masalah sanski belum komprehensif dan susah diterapkan karena pembuktian terkait dengan pelanggarannya sulit dilakukan; (4) dan lain sebagainya.
Berangkat dari hal tersebut di atas pada dasarnya Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV menilai bahwa kehadiran UU Jaminan Produk Halal adalah suatu kebutuhan untuk mengatasi berbagai problem di atas.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI IV mencermati pembahasan tentang RUU tentang Jaminan Produk Halal (JPH) saat ini merupakan inisiatif DPR. Secara Umum Ijtima Ulama menilai bahwa RUU JPH ini masih belum sejalan dengan kondisi yang sudah ada selama ini (exixting) khusunya pada hal-hal yang telah berjalan dengan baik, memberikan manfaat kepada pelaku usaha dan masyarakat luas. Dalam RUU ini MUI hanya diberi peran untuk memberikan fatwa halal serta beberapa peran elementer lain yang kurang strategis. Selain itu, DPR melalui RUU ini menginginkan agar dibentuk suatu badan bernama Badan Nasional Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPNP2H) yang secara khusus menjalankan kegiatan jaminan produk halal di Indonesia.
Di pihak lain, Draft RUU sandingan yang dibuat oleh Pemerintah sangat bertentangan dengan kondisi yang sudah tercipta dengan baik yang sudah ada saat ini. RUU sandingan Pemerintah juga berseberangan dengan RUU JPH inisiatif DPR. MUI hanya diberi peran sebagai peserta “Sidang Itsbat” yang bertugas menetapkan fatwa halal maupun fatwa terhadap bahan yang belum jelas status kehalalannya. Selain itu, Pemerintah dalam draf yang dibuatnya, menghendaki agar jaminan produk halal ditandatangani oleh Kementerian Agama tanpa membentuk suatu lembaga baru.
Kedua draft, yaitu RUU JPH DPR dan Draft RUU JPH sandingan Pemerintah terkesan berusaha meniadakan peran MUI (a historis) dalam kegiatan pemberian jaminan produk halal. Kedua lembaga seakan akan melupakan sejarah jaminan produk halal di Indonesia. Merebaknya isu lemak babi yang sangat meresahkan masyarakat pada tahun 1988 berkembang sangat cepat dan massif, sehingga jika dibiarkan berlarut-larut dapat menggangu perekonomian nasional. Terdorong oleh tanggungjawab keulamaan dan kegamaan, maka pada tanggal 6 Januari 1989, MUI mendirikan lembaga bernama Lembaga pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) berdasarkan Surat keputusan MUI No. Kep. 018/MUI/I/1989. LPPOM MUI didirikan untuk melindungi dan meningkatkan ketenteraman batin umat dalam mengkonsumsi produk baik pangan, obat-obatan, dan kosmetika. MUI dalam penjaminan produk halal telah berpengalaman selama 23 tahun lebih, berhasil menghindari adanya perbedaan (perselisihan) paham tentang kehalalan suatu produk.
Untuk menghindari adanya persoalan perbedaan paham tentang kehalalan suatu produk, maka lembaga sertifikasi dan auditor halal hanya didirikan oleh MUI. Namun demikian, personil auditor halal dapat direkomendasikan oleh instansi publik maupun lembaga kemasyarakatan yang kemudian akan dididik dan bekerja atas nama MUI.
Wacana sertifikasi halal yang akan ditangani oleh Pemerintah sangat tidak tepat. Indonesia sebagai Negara demokrasi semestinya meyerahkan urusan kehalalan suatu produk pada lembaga keagamaan yang memiliki kompetensi, kewenangan, dan otoritas yang telah diakui oleh umat Islam Indonesia maupun dunia interasional yaitu MUI. Bila penanganan produk halal ditangani oleh lembaga selain MUI, maka perlu diwaspadai adanya kemungkinan perbedaan paham, interpretasi, dan khilafiyah tentang status kehalalan suatu produk sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan persengketaan pendapat.
Selanjutnya berkaitan dengan upaya penyempurnaan materi RUU JPH agar sesuai dengan kebutuhan umat Islam dan masyarakat luas, serta tidak memutus mata rantai sejarah yang sudah tertulis dengan tinta emas tentang peranan potitif MUI di dalam pemberian jaminan produk halal selama ini, maka Ijtima Ulama berpendapat sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan jaminan produk halal di seluruh Negara di dunia dilakukan oleh Lembaga Keagamaan Islam, kecuali Malaysia dan Brunei Darussalam yang dilakukan oleh Pemerintah sebagai Negara Islam, dimana Raja memiliki kewenangan dalam menetapkan masalah keagamaan. Indonesia, sebagai Negara demokrasi, sudah selayaknya memberikan mandat kepada lembaga keulamaan dalam penjaminan produk halal.
2. MUI melakukan sertifikasi halal selama ini sebagai pelaksanaan mandat Pemerintah dan Negara ke MUI sebagaimana tertuang dalam:
a. Piagam Kerjasama Departemen Agama RI, Departemen Kesehatan RI, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996;
b. KMA Nomor 518 Tahun 2001; dan
c. KMA Nomor 519 Tahun 2001.
Upaya memindahkan kewenangan sertifikasi halal di Indonesia dari MUI sebagai lembaga keulamaan ke lembaga pemerintah merupakan bentuk pengambilalihan dengan mengatasnamakan konstitusi. Langkah ini dipandang sebagai upaya yang melupakan peran MUI (a historis) dalam melakukan penjaminan produk halal selama 23 tahun lebih di Indonesia.
3. Pelayanan jaminan produk halal yang selama ini dilakukan MUI telah memiliki sistem yang baik dan mantap, sehingga pelayanan sertifikasi halal dapat dilakukan dengan menggunakan asas efisiensi, yaitu waktunya singkat dan biaya murah. Apabila dibandingkan dengan berbagai lembaga sertifikasi halal luar negeri, maka pelayanan sertifikasi halal di Indonesia paling efisien baik dari segi waktu maupun biayanya.
4. Ijtima’ Ulama Majelis Ulama Indonesia IV menyerukan Pemerintah dan semua pihak, agar lebih proporsional dalam melihat sertifikasi halal di Indonesia yaitu dengan melakukan identifikasi dan pembagian peran, tugas dan kewenangan antara Pemerintah dan MUI yaitu:
a. Peran MUI: MUI berperan dalam (1) Penetapan Standar halal, (2) Pemeriksaan (audit) Produk halal, (3) Penetapan kehalalan suatu produk melalui sidang komisi fatwa MUI, (4) Penerbitan Sertifikasi halal sebagai bentuk fatwa tertulis MUI terkait dengan produk halal, (5) Pendidikan dan pelatihan auditor halal. Kesemua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan dalam rangkaian proses sertifikasi halal.
b. Peran Pemerintah. Pemerintah berperan dalam RUU JPH, yaitu berkaitan dengan pengaturan formal (regulasi) di antaranya: (1) pengaturan label halal pada kemasan produk halal; (2) pengawasan produk yang beredar baik produk halal yang berlabel pada kemasan, maupun produk halal yang tidak berlabel/berkemasan seperti produk-produk restoran, hotel, dan produk-produk siap saji lainnya; (3) pengawasan produsen produk halal; (4) pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran kepada masyarakat dan pelaku usaha; (5) pengawasan/penyediaan sarana dan pra sarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan produk halal; (6) penyelenggaraan kerjasama dengan Negara lain di bidang perdagangan produk halal; (7) penindakan terhadap berbagai fihak yang melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan jaminan produk halal; dan (8) memberikan subsidi dan/atau pembebasan biaya sertifikasi halal pada kelompok usaha mikro dan kecil melalui APBN / APBD.
5. Pengorganisasian jaminan produk halal dalam RUU JPH seharusnya menguatkan kelembagaan yang telah berjalan saat ini yaitu adanya unsur Pemerintah dan MUI dengan pembagian peran tertentu. Masing-masing peran telah dijalankan dengan cukup baik saat ini sehingga tinggal memberikan penguatan pada hal-hal yang belum tercover. Posisi MUI tetap berada di luar Pemerintah, sebagaimana yang selama ini dijalankan dalam pengambilan keputusan atas kehalalan suatu produk (halal, haram, atau syubhat/meragukan). Selain itu, MUI harus menempati posisi kunci dalam proses sertifikasi halal.
6. Lembaga yang berwewenang dan mempunyai otoritas dalam memeriksa kehalalan produk dan penetapan fatwa produk halal adalah MUI. Adanya lembaga lain di luar MUI akan menimbulkan masalah kegamaan dan kontroversi antar lembaga kegamaan. Hal ini sangat rentan konflik antar kelompok, khususnya dalam hal karena adanya kemungkinan perbedaan paham keagamaan dalam intern umat Islam, serta menimbulkan ketidakpastian dalam kriteria produk halal yang meresahkan masyarakat. Dengan demikian antara pemeriksaan produk halal dan penetapan fatwanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keduanya harus ditangani sebagai satu kesatuan dan oleh lembaga yang memiliki otoritas dan kredibilitas dalam bidang keagamaan. Auditor Halal dalam pandangan Ijitima Ulama adalah wakil dan saksi bagi para Ulama dalam hal ini adalah komisi Fatwa MUI, yang akan menetapkan fatwa produk halal.
7. Pemerintah hendaknya tidak memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 25 ayat (2) UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, sehingga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan jaminan produk halal merupakan salah satu tugas Menteri Agama. Dalam penyelenggaraan jaminan produk halal, Pemerintah dapat memberikan mandat kepada MUI untuk melaksanakan sebagian urusan sertifikasi halal khususnya berkaitan dengan syar’iyah yang merupakan kewenangan dan kompetensi MUI sebagai lembaga keualamaan.
8. Umat Islam dan masyarakat Indonesia, hendaknya dapat mengambil peran dalam mendukung Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga sertifikasi halal yang meliputi penetapan standar halal, pemeriksaan proses produk halal, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikat halal. Untuk itu, umat Islam perlu menyampaikan aspirasi kepada Pemerintah dan DPR RI yang pada saat ini sedang membahas RUU Jaminan Produk Halal.
9. Pemerintah dan DPR dalam melakukan pembahasan RUU JPH hendaknya menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan memberi ruang kepada publik untuk menyampaikan aspirasinya, baik produsen maupun konsumen, sehingga pengambilan keputusan akan lebih komprehensif dan berpijak pada realitas yang telah berjalan selama ini. Selanjutnya, perlu diberikan kesempatan yang luas kepada MUI untuk memberikan penjelasan secara mendalam dan menyeluruh dalam setiap tahap pembahasan RUU JPH.
10. Pembiayaan penjaminan produk halal dilakukan secara simultan, baik melalui APBN /APBD maupun swadaya masyarakat dengan ketentuan: (1) pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN / APBD digunakan untuk menjalankan peran yang akan dilakukan oleh Pemerintah, termasuk pengalokasian pembiayaan sertifikasi halal pada pengusaha mikro dan industri rumahan; dan (2) pembiayaan penjaminan produk halal diselenggaraakan secara mandiri dengan swadaya masyarakat digunakan untuk menjalankan peran MUI dalam jaminan produk halal.
B. PELAKSANAAN DAN TINDAK LANJUT UNDANG-UNDANG
1. Pelaksanaan dan Tindak Lanjut UU Pornografi
a. UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah berusia empat tahun. Namun MUI mencermati UU ini belum dijalankan sepenuhnya oleh negara/pemerintah yang diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Hal ini nampak dari belum optimalnya pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pencegahan, pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Selain itu nampak jelas dari masih munculnya berbagai bentuk pornografi di tengah-tengah masyarakat serta tidak dilakukannya tindakan hukum terhadap pelaku pelanggaran UU ini.
b. Atas dasar itu Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI IV mendorong pemerintah, termasuk pemerintah daerah, Kepolisian, dan Kejaksaan, untuk meneguhkan tekad dan komitmen dan mengoptimalkan pelaksanaan UU tentang Pornografi ini secara konsisten dan konsekuen .
c. Tanggung jawab pemerintah tersebut termasuk segera membentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UU sebagai peraturan organik yang diamanatkan oleh UU Pornografi.
d. Seiring dengan itu, Ijtima’ Ulama memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah membentuk Gugus Tugas Anti Pornografi serta mengharapkan agar Gugus Tugas ini segera action serta melibatkan unsur masyarakat agar manfaat keberadaannya dirasakan masyarakat.
2. RPP TENTANG KEDUDUKAN ANAK SEBAGAI PELAKSANAAN UU PERKAWINAN
- Putusan Mahkamah Konstitusi mengubah substansi Pasal 43 ayat (1) ? Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sebelumnya menegaskan: “Bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menjadi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum, mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
2. Menyikapi hal tersebut, MUI telah menetapkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang status anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya.
3. Terkait dengan fatwa tersebut, MK melalui beberapa hakim konstitusinya memberikan penjelasan bahwa putusan MK tersebut sama sekali tidak berniat untuk “menabrak” ketentuan hukum Islam.
4. Akan tetapi, putusan MK dengan redaksi yang generik tersebut tetap membuka penafsiran yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Untuk itu, Ijtima’ Ulama merekomendasikan agar putusan MK tentang pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak menimbulkan kontroversi dan ketidakpastian hukum, terutama bagi umat Islam Indonesia, maka MK diminta untuk menyesuaikan putusan tersebut dengan rasa keadilan hukum masyarakat, sebagaimana dimaksud pada fatwa MUI nomor 11 tahun 2012.
5. Rumusan RPP perlu disempurnakan dengan merujuk fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012
C. ISU-ISU HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV memahami bahwa setelah perubahan UUD 1945, konstitusi Indonesia menerapkan sistem saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances) antar antar lembaga-lembaga negara yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian konstitusi belum mengatur sistem checks and balances untuk Mahkamah Konstitusi (MK) di mana putusan MK tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum apapun juga. Sementara sebagai produk manusia, maka terdapat kemungkinan terbitnya putusan yang dinilai kurang tepat dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di Indonesia, termasuk ajaran agama, sebagai konsekuensi logis dari eksistensi manusia yang mempunyai kelemahan dan kekhilafan. Hal ini nampak antara lain dalam putusan MK tentang Pengujian UU Perkawinan yang diajukan oleh Machicha Muchtar dan putranya beberapa waktu lalu yang telah menyebabkan seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang tercatat oleh negara mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah yang menyebabkan kelahirannya, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Atas dasar itu, MUI mendorong berbagai pihak, termasuk MPR, DPR, Presiden, ormas, LSM bidang peradilan, para pakar dan akademisi untuk mulai memikirkan adanya sistem saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances) terhadap putusan MK. Hal ini penting dilakukan agar ke depan putusan MK tetap dapat dikontrol dan diimbangi dengan kewenangan lembaga negara lain. Untuk itu Ijtima’ Ulama menggagas agar ada semacam hak veto bersyarat Presiden dan DPR terhadap putusan MK yang dianggap kurang tepat dan sesuai oleh kedua lembaga negara tersebut. Hak veto bersyarat ini berisi kewenangan kedua lembaga negara tersebut untuk menyatakan tidak berlakunya putusan MK yang membatalkan materi muatan UU hasil kerja DPR dan Presiden apabila Presiden dan mayoritas anggota DPR dalam jumlah minimal tertentu menyatakan penolakan atas putusan tersebut. Pendapat Presiden dan DPR ini berkonsekuensi pada “hidupnya” kembali materi muatan UU yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK tersebut. Inilah wujud sistem checks and balances antara MK dengan Presiden dan DPR. Untuk kepentingan ini, dibutuhkan perubahan (amendemen) konstitusi pada masa mendatang oleh MPR.
2. Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa IV memandang bahwa gagasan Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 masih jauh dari kenyataan. Perwujudan negara hukum dan supremasi hukum masih menemui berbagai kendala dan masalah, baik dari aspek peraturan dan aparatur maupun budaya. Kondisi ini menyebabkan masih belum dirasakannya keadilan dan kebenaran hukum oleh masyarakat, terutama mereka yang lemah dalam sumber daya politik dan ekonomi. Atas dasar itu Ijtima’ Ulama mendorong agar aparatur penyelenggara Negara, khususnya aparatur penegak hukum meningkatkan komitmen dan semangat untuk menegakkan hukum dan keadilan. Apabila aparatur penegak hukum tidak mampu atau tidak mau menegakkan hukum dan keadilan, sementara tugas dan tanggung jawab mereka adalah mewujudkannya, maka sejatinya aparatur penegak hukum tersebut sudah tidak lagi memiliki legitimasi dan urgensinya.
3. MUI mengharapkan dapat lebih diintensifkannya sosialisasi berbagai undang-undang yang terkait kepentingan umat Islam dalam mendukung pelaksanaan ajaran agama kepada masyarakat dan aparatur penyelenggara negara/pemerintah. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa sampai saat ini masih terdapat warga masyarakat yang belum memahami isi, maksud dan tujuan berbagai UU dan masih belum optimalnya pelaksanaan UU oleh aparatur penyelenggaraa negara/pemerintah yang ditugaskan untuk itu. Beberapa UU tersebut, antara lain UU Pornografi, UU Perbankan Syariah, UU Wakaf, UU Zakat, UU Sistem Pendidikan Nasional.
4. MUI mendesak Pemerintah untuk memberikan perhatian lebih besar kepada sistem perekonomian syariah agar lebih berkembang dan memberikan kontribusi lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, kemajuan usaha/bisnis para pengusaha, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan.
Ditetapkan di : Cipasung
Pada Tanggal : 11 Sya’ban 1413 H
1 J u l i 2012 M
PIMPINAN SIDANG PLENO VI
IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA IV TAHUN 2012
KETUA SEKRETARIS
KH. DR. MA’RUF AMIN DR.HM.ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Pimpinan Sidang Komisi C
IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA KE IV
Ketua, Sekretaris,
PROF. DR. H. AHMAD ROFIQ, MA DR. H. M. KHOIRUL ANWAR, MEI
No comments:
Post a Comment