KEPUTUSAN KOMISI A
IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
SE- INDONESIA IV TAHUN 2012
Tentang
MASÂIL ASASIYYAH WATHANIYYAH
(MASALAH STRATEGIS KEBANGSAAN)
PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BAIK MENURUT ISLAM
(Mabâdi’ al-Hukûmah al-Fâdhilah)
Bismillahirrahmanirrahim
1. Kaidah fiqhiyah menegaskan, Tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah manûth bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan).
2. Dalam memikul tugas kepemimpinan publik, penyelenggara negara khususnya pemerintah harus memenuhi syarat, antara lain:
a. Memiliki kemampuan nalar (kecerdasan) untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut rakyat dan kemaslahatan mereka (siyâsah al-ra’iyyah wa tadbîr mashâlihihim);
b. Memiliki kemampuan, ketahanan fisik dan mental dengan landasan iman dan taqwa yang membuatnya mampu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan menetapkan hukum serta kebijakan secara benar (al-ijtihâd fî al- nawâzil wa al-ahkâm).
3. Setiap kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif harus didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum serta menghilangkan kemafsadatan dari mereka (iqâmah al-mashâlih wa izâlah al-mafâsid). Dalam implementasinya, mencegah terjadinya kemafsadatan harus didahulukan dari pada upaya mewujudkan kemaslahatan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih).
4. Apabila terjadi benturan kepentingan kemaslahatan antara berbagai pihak, maka kepentingan kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan golongan dan perorangan. Demikian juga, ketika terjadi benturan kepentingan kemafsadatan (kerusakan) antara berbagai pihak, maka kemafsadatan yang dialami oleh sekelompok orang bisa diabaikan demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang bersifat umum.
5. Pelaksanaan kebijakan penyelenggara negara (tasharruf al-imâm) harus mengedepankan prinsip prioritas (awlawiyyah) sebagai berikut:
a. Taqdîm al-ahwaj, yaitu mendahulukan atau memprioritaskan rakyat yang lebih membutuhkan dibandingkan dengan pihak yang kurang membutuhkan;
b. Al-‘adlu fî i’thâi huqûq mutasâwî al-hâjât, yaitu membagi secara adil di antara mereka yang memiliki kebutuhan yang sama;
c. Mengedepankan sikap amanah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan menjauhkan diri dari berbagai praktek pengkhianatan dan korupsi (ghulul).
6. Kemaslahatan yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan penyelenggara negara harus memenuhi kriteria (dlawâbith) sebagai berikut:
a. Kemaslahatan yang dimaksud adalah tercapainya tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah) yang diwujudkan dalam bentuk terlindunginya lima hak dasar kemanusiaan (al-dharûriyyât al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta.
b. Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan dengan nash.
c. Kemaslahatan yang dapat dijadikan landasan hukum adalah kemaslahatan yang yang hakiki (benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak mudarat).
d. Kemaslahatan yang dijadikan landasan hukum harus bersifat pasti (qâthi’ah), terbukti dalam kenyataan (muhaqqaqah), umum, berkelanjutan dan jangka panjang, bukan bersifat spekulatif (mawhûmah), individual, dan sesaat.
e. Kemaslahatan yang bersifat umum harus diprioritaskan untuk direalisasikan, meskipun harus mengenyampingkan kemaslahatan yang bersifat individual ataupun kelompok (al-mashlahah al-‘âmmah muqaddamah ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah).
f. Dalam merealisasikan kemaslahatan, penyelenggara negara dapat menetapkan kebijakan yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perorangan atau sekelompok orang, hanya apabila hal itu benar-benar demi kemaslahatan umum atau untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
7. Penyelenggara negara sebagai pengemban amanah untuk mengelola urusan publik harus mendahulukan kepentingan yang bersifat umum dan menjaga kemaslahatan masyarakat banyak, di atas kepentingan perorangan dan golongan.
Penyelenggara negara yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemaslahatan sebagaimana disebutkan di atas, berarti telah mengkhianati amanah, dan harus mempertanggungjawabkan secara etik, moral, dan hukum. Dengan demikian, penyelenggara negara semacam itu tidak termasuk dalam kategori pemerintahan yang baik (good governance/siyâsah al-hukûmah al-fâdhilah).II
KRITERIA KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (PEMERINTAH) DAN BATASANNYA
1. Kaidah fiqhiyyah menegaskan: hukm al-hâkim ilzâm wa yarfau’ al-khilâf (keputusan pemerintah bersifat mengikat dan menghilangkan kontroversi).
2. Kekuasaan adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada pemerintah untuk memelihara agama dan mengatur urusan dunia (hirâsah al-dîn wa siyâsah al-dunyâ)
3. Kriteria ketaatan terhadap pemerintah adalah sebagai berikut:
a. kebijakan dan tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan akidah dan syariah.
b. kebijakan dan tindakan yang dilakukannya adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum dan sejalan dengan maqâshid al-syarî’ah.
c. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan norma-norma agama telah dimusyawarahkan dengan lembaga-lembaga keagamaan yang berkompeten.
4. Kebijakan pemerintah yang selaras dengan ketentuan agama dan kemaslahatan umum wajib ditaati. Sebaliknya, kebijakan pemerintah yang melegalkan sesuatu yang dilarang agama atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama, tidak boleh ditaati.
5. Keputusan pemerintah dalam masalah-masalah khilafiyah yang menyangkut kepentingan publik demi kemaslahatan umum, wajib ditaati. Dalam hal ini umat Islam wajib meninggalkan egoisme kelompok (anâniyyah thâifiyyah) demi persatuan dan kesatuan umat Islam.
III
IMPLEMENTASI KONSEP HAM
DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
- Islam memandang Hak Asasi Manusia (huquq al-insan al-asasiyyah) merupakan hak-hak kodrati yang melekat pada manusia itu sendiri sebagaimana tergambar dalam al-Quran, As-Sunnah dan sejarah perkembangan Islam. Pada dasarnya Islam telah memberikan rumusan yang jelas mengenai hak-hak yang meliputi persamaan (al-musawah) dan kebebasan (al-hurriyah) umat manusia.
- Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses yang panjang telah meneguhkan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi rincian rumusan hak-hak asasi manusia, penegakan serta perlindungannya, dan pembatasan pelaksanaannya.
- Prinsip-prinsip Islam tentang HAM dengan rincian HAM dalam UUD RI 1945 tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi sehingga dapat memberikan dasar-dasar pelaksanaan HAM yang menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat kemanusiaan sesuai dengan nilai-nilai agama, kepribadian bangsa, demi menjaga masyarakat yang demokratis dalam wadah NKRI.
- UUD NRI 1945 menetapkan adanya kewajiban asasi serta pembatasan atas pelaksanaan HAM (margin apresiasi) sebagaimana disebutkan dalam pasal 28J yang menyatakan: (1) setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
- Setiap rumusan dan pelaksanaan HAM yang dianut dan dipropagandakan oleh kaum liberal dan sekuler yang bertentangan dengan moral, nilai-nilai agama, dan mengganggu keamanan serta ketertiban umum wajib ditolak.
- Umat Islam harus mendukung pemerintah dalam memajukan, memenuhi, melindungi, dan menegakkan HAM sesuai dengan konstitusi sehingga terwujud masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
ETIKA BERDEMONSTRASI DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
1. Islam menghargai kebebasan berekspresi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral dan kepribadian bangsa.
2. Islam dan UUD 1945 menjamin penuh prinsip-prinsip musyawarah untuk menyampaikan aspirasi, mencari kesepakatan dalam bingkai yang beretika, saling menghormati, dan saling menghargai antarelemen bangsa.
3. Jika aksi demonstrasi (?????? ) diniatkan ikhlas karena Allah SWT; bertujuan untuk al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar; dijadikan sarana perjuangan (jihad) untuk melakukan perubahan menuju suatu sistem nilai yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka hal itu bernilai positif, sehingga hukumnya boleh (mubah), bahkan bisa berkembang menjadi sunnah atau wajib, tergantung pada qarinah (situasi dan kondisi)-nya.
4. Jika demonstrasi berubah menjadi perbuatan brutal, anarkis dan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa manusia, harta, dan merusak fasilitas umum, maka dilarang oleh syariat Islam.
5. Demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tertib, sesuai dengan nilai-nilai al akhlâq al-karîmah.
V
PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH
1. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah sebagai pengemban amanah untuk hirasah al-dîn dan siyâyah al-dunya dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama oleh rakyat sepanjang mendatangkan maslahat dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Pemilihan umum secara langsung dalam penetapan kepemimpinan hanya bisa dilaksanakan jika disepakati oleh rakyat, terjamin kemaslahatannya, serta terhindar dari mafsadat. Pilkada merupakan salah satu media pembelajaran demokrasi bagi masyarakat daerah dan sekaligus untuk mewujudkan hak-hak esensial individu seperti kesamaan hak politik dan kesempatan untuk menempatkan posisi individu dalam pemerintahan daerah.
3. Pemilukada langsung dimaksudkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, sehingga secara teori akses dan kontrol masyarakat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pemilukada menjadi sangat kuat. Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pemilukada menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.
4. Saat ini pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki mafsadah yang sangat besar, antara lain; (i) munculnya disharmoni dalam hirarki kepemimpinan secara nasional; (ii) mengakibatkan mahalnya biaya demokrasi, sehingga menunda skala prioritas pembangunan masyarakat yang saat ini sedang berada dalam ekonomi sulit; dan (iii) berpotensi membuat konflik horizontal antarelemen masyarakat yang dapat melibatkan unsur SARA; (iv) Kerusakan moral yang melanda masyarkat luas akibat maraknya money politic (risywah siyâsiyyah). Untuk itu, apabila secara sosiologis-politis dan moral, masyarakat belum siap, maka berdasarkan prinsip mendahulukan mencegah kemafsadatan, pemilihan kepala daerah sebaiknya dilakukan dengan sistem perwakilan dengan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi.
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik