A. Mukaddimah
Sepatutnya seorang muslim bersikap hati-hati dalam menghukumi seseorang itu kafir atau muslim. Lebih-lebih yang divonis itu adalah orang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji dan amal-amal Islam lainnya. Nabi saw. telah memberikan peringatan mengenai hal ini. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ. فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir,’ maka salah satunya kembali dengan ucapan itu. Jika saudaranya itu seperti yang dikatakan, (maka benarlah) dan jika tidak, maka ucapan kafir itu kembali kepadanya.” (HR. Muslim)
Walaupun Nabi saw. telah memberikan peringatan yang keras seperti ini, masih saja ada dari kelompok muslim yang mengkafirkan (takfir) sesama saudaranya. Dalam sejarah Islam, yang terkenal paling awal suka melakukan takfir adalah kelompok Khawarij. Mereka mengkafirkan beberapa sahabat dan kelompok muslim yang tidak sesuai dengan ide-ide mereka.
Musibah takfir itu kini kembali menimpa warga Rifaiyah, santri-santri Syaih Ahmad Rifai, ulama pembaharu abad kesembilan belas. Sekelompok Thariqah Mu’tabarah telah memvonis bahwa Rifaiyah itu kafir dan murtad gara-gara Rifaiyah mengatakan rukun Islam hanya ada satu. Sangat disayangkan mereka tidak melakukan tabayyun apakah yang dimaksud dengan rukun Islam itu satu. Layakkah sikap gegabah seperti dilakukan oleh ulama? Maka dalam kaitannya dengan ini, kami layak untuk mengatakan bahwa adakalanya mereka tidak tahu, atau tahu tetapi tidak menghukumi sesuai dengan yang sebenarnya. Dan ungkapan berikut ini layak untuk dialamatkan kepada mereka,
إِنْ كُنْتَ لاَ تَدْرِيْ فَتِلْكَ مُصِيْبَةٌ أَوْ كُنْتَ تَدْرِي فَالْمُصِيْبَةُ أَعْظَمُ
“Jika kamu tidak tahu, itu adalah musibah dan jika kamu tahu, musibahnya jauh lebih besar.”
Atas dasar itu, kami mengumpulkan argumen-argumen yang mengukuhkan bahwa jama’ah Rifaiyah dengan rukun Islam satunya tidaklah kafir atau murtad sebagaimana yang dituduhkan oleh kelompok-kelompok tertentu.
B. Rukun Islam Satu
Definisi Rukun
Rukun menurut bahasa adalah sebagaimana yang disebutkan Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al-Arab. Ibnu Manzhur mengatakan,
وَرُكْنُ الشَّيْءِ جَانِبُهُ الأَقوَى، والرُّكْنُ النَّاحِيَةُ الْقَوِيَّةُ وَمَا تَقَوَّى بِهِ مِنْ مَلِكٍ وجُنْدٍ وَغَيْرِهِ.
“Rukun sesuatu artinya sisinya yang paling kuat. Rukun adalah bagian yang kokoh dan elemen-elemen yang memperkuat sesuatu (negara) berupa raja, pasukan dan lainnya.”[1]
Adapun rukun menurut istilah (Fuqaha dan Ushuliyyin) didefinisikan sebagai berikut.
اَلرُّكْنُ: مَا لاَ بُدَّ لِلشَّيْءِ مِنْهُ فِيْ وُجُوْدِ صُوْرَتِهِ عَقْلاً، إِمَّا لِدُخُوْلِهِ فِيْ حَقِيْقَتِهِ، أَوْ لاِخْتِصَاصِهِ بِهِ.
“Rukun adalah sesuatu yang menjadi keharusan sesuatu yang lain untuk bentuk wujudnya secara lahir. Adakalanya ia menjadi bagian dari hakikatnya atau ia menjadi kekhususannya.”[2]
Berangkat dari definisi rukun menurut istilah seperti inilah Syaikh Ahmad Rifai mengatakan bahwa rukun Islam hanya ada satu, yaitu syahadatain. Artinya, apabila ada seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka hukum-hukum Islam, seperti wajib dijaga darahnya, hartanya, dan kehormatannya, wajib dishalatkan ketika meninggal, dan berhak mendapat warisan berlaku kepadanya. Demikian itu walaupun ia tidak melakukan amalan-amalan ibadah seperti shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya selama tidak menampakkan perilaku yang menyebabkannya dihukumi kafir, seperti menyembah matahari dan mengatakan bahwa setelah Nabi Muhammad saw. ada Nabi lagi.
Hal itu karena Islam yang dimaksudkan oleh Syaikh Ahmad Rifai dalam kaitannya dengan rukun Islam adalah Islam secara zhahir. Kita menghukumi seseorang sebagai muslim apabila ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Adapun ia benar-benar meyakini makna syahadat itu atau tidak meyakininya, maka itu bukan tugas kita untuk mengetahuinya. Itulah yang dilakukan Nabi saw. terhadap orang-orang munafik pada zaman beliau. Walaupun beliau tahu akan kemunafikan mereka, namun beliau tidak membunuh mereka. Sesungguhnya penetapan hukum dalam pandangan agama Islam adalah berdasarkan fakta-fakta yang zhahir.
Adapun mengucapkan syahadatain yang membuat seseorang dianggap Islam secara zhahir dan batin (mukmin) dan dengan demikian ia berhak masuk ke dalam surga ketika nanti di akhirat adalah mengucapkan dua syahadat tersebut beserta dengan meyakini maknanya. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku utusan Allah; tidak ada (balasan bagi) seorang hamba yang bertemu dengan Allah dengan kedua syahadat tadi tanpa ragu di dalamnya kecuali ia akan masuk surga.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Syaikh Nawawi al-Bantani mengatakan,
وَالْإِسْلاَمُ الْحَقِيْقِيُّ يَحْصُلُ بِالشَّهَادَتَيْنِ بِشَرْطِ التَّصْدِيْقِ كَمَا أَفَادَهُ الْعَزِيْزِيُّ.
“Islam yang hakiki dapat tercapai dengan dua syahadat saja dengan syarat membenarkan (isinya) sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Azizi.”[3]
C. Dalil-Dalil Rukun Islam Satu
1. Dalil Al-Qur`an
Allah swt. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا ضَرَبْتُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَتَبَيَّنُوا وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَى إِلَيْكُمُ السَّلاَمَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَعِنْدَ اللهِ مَغَانِمُ كَثِيرَةٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, ‘Kamu bukan seorang mukmin’ (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak.” (an-Nisa`: 94)
Dalam ayat ini Allah melarang kita untuk mengatakan ‘kafir’ kepada orang yang mengucapkan ‘salam’ kepada kita. Beberapa tafsir menyebutkan asbab an-nuzul ayat ini. Dan di antaranya menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘salam’ di sini adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan kisah al-Miqdad yang membunuh orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat. Said bin Jubair menyebutkan bahwa Ibnu Abbas ra. berkata, “Rasulullah saw. mengutus pasukan sariyah (pasukan yang jumlahnya empat ratus orang). Al-Miqdad bin al-Aswad termasuk di dalamnya. Ketika mereka telah mencapai kelompok musuh, mereka menemukan kelompok musuh tersebut telah tercerai-berai. Hanya tersisa satu orang yang memiliki harta yang banyak. Orang ini mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah.’ Namun, al-Miqdad tetap menuju kepadanya dan membunuhnya. Maka salah seorang sahabat berkata kepadanya, ‘Apakah kamu membunuh orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah? Demi Allah, aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah!’
Setelah datang kepada Rasulullah saw., mereka berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, lalu al-Miqdad membunuhnya!’ Beliau bersabda,
اُدْعُوْا لِي الْمِقْدَادَ. يَا مِقْدَادُ، أَقَتَلْتَ رَجُلاً يَقُوْلُ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، فَكَيْفَ لَكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ غَدًا؟
‘Panggilkan aku al-Miqdad. Wahai al-Miqdad! Apakah kamu membunuh orang yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah?’ Bagaimana kamu besok (di akhirat) dengan ‘la ilaha illallah’?’ Lalu Allah menurunkan ayat (di atas).”[4] (HR. Bazzar)
2. Dalil-Dalil Hadits
1. Abdullah bin Mas’ud ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ، إِِلاَّ بِاِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّاني، والنّفْسُ بالنَّفْسِ، والتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ.
“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku utusan Allah kecuali dengan tiga perkara: (1) duda yang berzina, (2) membunuh jiwa manusia, (3) dan orang meninggalkan agamanya dan kelompoknya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Nasa`i)
2. Usamah bin Zaid ra. mengatakan, “Rasulullah saw. mengutus kami dalam pasukan sariyah. Lalu kami menyerang suku Haraqat dari Juhainah pada pagi hari. Aku menemukan seseorang, lalu ia mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah.’ Namun, aku menikamnya. Hatiku pun merasa resah dengan apa yang telah aku lakukan. Maka aku menceritakannya kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda,
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَقَتَلْتَهُ؟
‘Ia telah mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan selain Allah,’ dan kamu tetap membunuhnya?’
Aku berkata, ‘Ia mengucapkannya demi menyelamatkan diri.’ Beliau bersabda,
أَفَلاَ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَالَهَا أَمْ لاَ، مَنْ لَكَ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟
‘Apakah kamu tidak membedah hatinya agar kamu mengetahui ia mengucapkannya karena alasan itu atau tidak? Bagaimana dirimu dengan la ilaha illallah pada hari kiamat?’
Beliau terus mengulang kata-kata itu hingga aku menganggap diriku baru masuk Islam ketika itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Hibban, Baihaqi dan Hakim)
3. Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّى رَسُوْلُ اللهِ فَإِذَا قَالُوْهَا عَصَمُوْا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintahkan untuk membunuh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka mengucapkannya, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali hak persaksian itu. Adapun hisab mereka (yang sebenarnya) adalah urusan Allah.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Semua hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi sebagai muslim. Karena itu, darahnya, hartanya, dan kehormatannya wajib dijaga dan tidak boleh ada yang menyia-nyiakannya. Ia pun berhak dishalatkan ketika meninggal, mendapat warisan, didoakan dan lain sebagainya dari hak-hak seorang muslim.
3. Aqwalul Ulama
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatkan dalam kitab Fath al-Bari,
وَمِنْ حُجَجِ مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَه إِلاَّ الله، فَإِذَا قَالُوْهَا عَصَمُوا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ ” فَيُحْكَم بِإِسْلاَمِ مَنْ تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ – وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِدُ خِلاَفَ ذَلِكَ.
“Di antara hujjah-hujjah ulama yang berpendapat bahwa Nabi saw. mungkin saja berijtihad adalah sabda beliau,
‘Aku diperintahkan untuk membunuh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku utusan Allah. Jika mereka mengucapkannya, maka mereka telah menjaga darah dariku.’
Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi Islam secara zhahir walaupun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari itu.”[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan,
وَكُلُّهُمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ أَحْكَامَ الدُّنْيَا عَلَى الظَّاهِرِ وَاللهُ يَتَوَلَّى السَّرَائِرَ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُسَامَةَ هَلاَّ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ؟
“Semua ulama sepakat bahwa hukum-hukum dunia berdasarkan zhahir. Allah lah yang mengurusi rahasia-rahasia. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda kepada Usamah (sebagai pengingkaran), ‘Apakah kamu tidak membedah hatinya?’”[6]
2. Imam al-Khathabi (w. 388 H).
Mengomentari kisah Usamah bin Zaid, Imam al-Khathabi mengatakan,
فِيهِ مِنْ الْفِقْه أَنَّ الرَّجُل إِذَا تَكَلَّمَ بِالشَّهَادَةِ وَإِنْ لَمْ يَصِفْ الْإِيمَان وَجَبَ الْكَفُّ عَنْهُ وَالْوُقُوْفُ عَنْ قَتْلِهِ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ بَعْد الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ أَوْ قَبْلَهَا. وَفِي قَوْله ” هَلاَّ شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ ” دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْحُكْمَ إِنَّمَا يَجْرِيْ عَلَى الظَّاهِرِ وَأَنَّ السَّرَائِرَ مَوْكُولَةٌ إِلَى اللهِ تَعَالَى.
“Kisah tersebut mengandung fiqih bahwasanya seseorang yang mengucapkan syahadat, walaupun tidak menyebut iman wajib dijaga dan dilindungi dari pembunuhan, baik ia mengucapkannya setelah dikuasai atau sebelumnya. Dan sabda beliau, ‘Apakah kamu tidak membedah hatinya?’ menjadi dalil bahwa sesungguhnya hukum berlaku berdasarkan zhahir dan bahwa masalah-masalah yang tidak tampak diserahkan kepada Allah swt.”[7]
3. Ibnu Shalah (w. 643 H).
Ibnu Shalah sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi mengatakan,
وَحُكْمُ الْإِسْلاَمِ فِي الظَّاهِرِ ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ، وَإِنَّمَا أَضَافَ إِلَيْهِمَا الصَّلاَةَ وَالزَّكَاةَ، وَالْحَجَّ ، وَالصَّوْمَ، لِكَوْنِهَا أَظْهَرَ شَعَائِرِ الْإِسْلاَمِ وَأَعْظَمَهَا.
“Hukum Islam secara zhahir ditetapkan dengan dua syahadat. Adapun shalat, zakat, haji dan puasa ditambahkan kepadanya karena amal-amal itu merupakan syi’ar-syi’ar Islam yang paling tampak dan paling agung.”[8]
4. Syaikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (w. 1004 H).
Syaikh ar-Ramil mengatakan dalam kitab Ghayah al-Bayan,
فَالْإِسْلاَمُ هُوَ النُّطْقُ بِالشَّهَادَتَيْنِ فَقَطْ فَمَنْ أَقَرَّ بِهِمَا أُجْرِيَتْ عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْإِسْلاَمِ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يُحْكَمْ عَلَيْهِ بِكُفْرٍ إِلاَّ بِظُهُوْرِ اَمَارَاتِ التَّكْذِيْبِ كَسُجُوْدِهِ اخْتِيَارًا لِكَوَاكِبَ أَوْ صُوْرَةٍ أَو اسْتِخْفِاَفٍ بِنَبِيٍّ أَوْ بِمُصْحَفٍ أَوْ بِالْكَعْبَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ.
“Islam adalah mengucapkan dua syahadat saja. Barangsiapa yang mengucapkannya, maka hukum-hukum Islam di dunia diberlakukan kepadanya. Ia tidak boleh dihukumi kafir kecuali ia menampakkan tanda-tanda pendustaan, seperti bersujud secara sengaja kepada bintang-bintang, patung, atau menghina Nabi, mushaf, Ka’bah dan sejenisnya.”[9]
5. Ibnu Allan ash-Shiddiqi (w. 1057 H).
Ibnu Allan ash-Shiddiqi dalam kitab Dalil al-Falihin mengatakan,
فَالْمَقْصُوْدُ مِنْ ذِكْرِ الْأَرْكَانِ الْخَمْسَةِ فِي الْحَدِيْثِ بَيَانُ كَمَالِ الْإِسْلاَمِ وَتَمَامِهِ فَلِذَلِكَ ذَكَرَ هَذِهِ الْأُمُوْرَ مَعَ الشَّهَادَتَيْنِ أَمَّا أَصْلُ الْإِسْلاَمِ فَالشَّهَادَتَانِ كَافِيَتَانِ فِيْهِ.
“Maksud disebutkannya lima rukun dalam hadits adalah untuk menjelaskan kesempurnaan Islam. Karena itu, beliau menyebutkan perkara-perkara tersebut bersama dengan dua syahadat. Adapun pokok Islam, dua syahadat sudah mencukupinya.”[10]
6. Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (w. 987 H).
Syaikh Zainuddin al-Malibari mengatakan dalam kitab Fath al-Mu’in,
إِنَّمَا يَحْصُلُ إِسْلاَمُ كُلِّ كَافِرٍ أَصْلِيٍّ أَوْ مُرْتَدٍّ بِالتَّلَفُّظِ بِالشَّهَادَتَيْنِ مِنَ النَّاطِقِ.
“Sesungguhnya keislaman setiap orang yang kafir asli atau murtad dapat tercapai dengan mengucapakan dua syahadat ketika mampu berbicara.”[11]
7. Syaikh Ahmad al-Ajhuri.
Syaikh Ahmad al-Ajhuri dalam Hamisyh Tuhfah al-Murid mengatakan,
فَعَلَى كُلِّ حَالٍ مِدَارُ الْإِسْلاَمِ عَلَى النُّطْقِ بِالشَّهَادَتَيْنِ.
“Kesimpulannya, inti dari Islam itu mengucapkan dua kalimat syahadat.”[12]
D. Rukun Islam Lima
Seringkali para ulama menyebutkan bahwa rukun Islam ada lima berdasarkan hadits Nabi saw. yang berbunyi,
بُنِيَ الإسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Sesungguhnya Islam didirikan atas lima perkara: (1) persaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) melaksanakan haji, (5) dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa`i)
Seperti yang Anda lihat, Nabi saw. tidak menyebutkan kata rukun dalam hadits tadi. Adapun para ulama menggunakan istilah rukun untuk kelima perkara itu merupakan hasil ijtihad mereka sendiri. Dan yang mereka maksudkan dengan istilah rukun di sini jelas lain dengan istilah rukun yang sering digunakan dalam bidang fiqih, seperti rukun shalat dan rukun jual beli. Lebih tepatnya, mereka menggunakan istilah rukun di sini dengan maknanya menurut bahasa, yaitu sisi atau bagian yang paling kuat. Dan memang kelima perkara itu merupakan bagian-bagian yang penting dan mendasar dalam agama Islam.
Oleh karena itu, kita melihat Imam Ibnu Shalah, sebagaimana yang telah kami kutip, menganggap perkara-perkara tersebut sebagai syiar-syiar Islam yang paling tampak dan paling besar. Adapun seseorang dapat dianggap sebagai muslim, maka mengucapkan dua kalimat syahadat itu sudah cukup.
Begitu juga Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Kasyifah as-Saja (hlm. 5) menyebutnya dengan da’aim (pilar-pilar), asas (dasar), dan ajza` (bagian-bagian). Ada juga yang menyebutnya dengan qawa’id (pondasi-pondasi), seperti Syaikh ar-Ramli.
Sementara itu, Syaikh Ahmad Rifai dalam kaitannya dengan lima perkara yang disebutkan dalam hadits tadi menggunakan istilah A’mal al-Islam (amal-amal Islam).
Apapun istilah yang mereka gunakan, kesemuanya bermuara pada pemahaman bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji adalah amal-amal dan syiar-syiar yang besar di dalam agama Islam. Semua ulama, termasuk Syaikh Ahmad Rifai, sepakat dengan hal itu. Namun, di sisi lain mereka pun bersepakat bahwa apabila seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia dihukumi sebagai seorang muslim secara zhahir. Seandainya ia tidak melaksanakan shalat, zakat, puasa dan haji (ketika mampu), ia tidak dihukumi kafir, tetapi dihukumi sebagai orang yang berbuat dosa besar atau fasik. Hal itu jika ia meninggalkannya karena malas. Adapun jika meninggalkannya karena ingkar, maka ia dihukumi kafir.
E. Kesimpulan
1. Para ulama bersepakat bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi sebagai orang muslim. Inilah yang dimaksud rukun Islam satu versi Syaikh Ahmad Rifai.
2. Para ulama juga bersepakat bahwa mengucapkan dua syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji merupakan amal-amal penting dan besar di dalam agama Islam. Mereka ada yang menyebutnya dengan arkan al-islam, da’aim al-islam, asas al-islam, qawaid al-islam, dan a’mal al-islam.
3. Dalam berpendapat bahwa rukun Islam hanya ada satu, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, Syaikh Ahmad Rifai menggunakan rukun dengan makna istilah Ushuliyyin dan Fuqaha.
4. Ulama lain yang berpendapat bahwa rukun Islam ada lima menggunakan kata rukun dengan makna bahasa yaitu bagian yang penting dari sesuatu, bukan rukun dengan makna istilah.
5. Kelompok yang menuduh warga Rifaiyah kafir dan murtad, adakalanya mereka tidak memahami apa yang dikehendaki oleh Syaikh Ahmad Rifai dengan rukun Islam satu. Jika demikian, ini adalah suatu musibah, karena mereka menghukumi dengan kejahilan. Dan adakalanya mereka memahami apa yang dimaksudkan Syaikh Ahmad Rifai. Jika demikian, maka sesungguhnya musibahnya lebih besar! Karena mereka menghukumi tidak berdasarkan ilmu, tetapi berdasarkan nafsu. Namun, kami berharap mereka salah paham saja dan semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita dan mereka. Amin.
F. Penutup
Demikianlah penjelasan kami tentang rukun Islam satu. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pencerahan kepada pembaca dan utamanya siapa saja yang belum memahami apa yang dimaksud dengan rukun Islam satu. Wallahu a’lam.
Oleh : M. Abidun Zuhri
[1] Lisan al-Arab, 13/185.
[2] Majallah al-Buhuts al-Islamiyah, 22/146, dan Adab al-Mufti wa al-Mustafti, 1/269, karya Utsman bin Abdurrahman bin Utsman (Ibnu Shalah).
[3] Tanqih al-Qaul al-Hatsis, hlm. 25.
[4] Tafsir Ibnu Katsir, 2/384.
[5] Fath al-Bari, 20/216.
[6] Fath al-Bari, 19/379.
[7] Aun al-Ma’bud, 6/71.
[8] Syarah Shahih Muslim, 1/149.
[9] Ghayah al-Bayan, hlm. 6.
[10] Dalil al-Falihin, 1/217-218.
[11] Fath al-Mu’in (Hamisy I’anah), 4/139.
[12] Hamisyh Tuhfah al-Murid Syarah Jauhar at-Tauhid, hlm. 29.
No comments:
Post a Comment