Pages

Monday, July 9, 2012

Menjawab soalan lafadz "Kami" yang tertuju kepada Allah di dalam ayat ayat Al Qur'an

Diberbagai debat atau diskusi antara Islam dengan Kafir, seringkali mereka menanyakan dan bahkan menghujat Islam dengan adanya lafadz "Kami", mereka menanyakan mengapa dalam Al Qur’an banyak menggunakan kata KAMI untuk ALLAH? Bukankah kami itu banyak? Itu berarti Qur’an pun mengakui “Tuhan” bapa, “Tuhan” anak & “Tuhan” roh atau trinitas !!!

Lalu bagaimanakah kita menjawab menyikapi pertanyaan semacam ini???
Perlu disadari bahwa memang di antara kita ada yang mengetahui dan ada juga yang tidak mengetahui jawaban ini, Terkadang kita juga sering terjebak dengan pertanyaan yang dikeluarkan oleh para kuffar yang ingin menyamakan antara Tauhid Islam dengan Tauhid mereka. Yang pasti, inilah pertanyaan dan hujatan yang sering dijadikan senjata oleh mereka untuk menyerang islam.

1. Penggunaan Pertama

Sangat perlu kita mengetahui ilmu sharaf dan nahwu, karena nantinya kita akan jawab dengan ilmu tersebut.
Bahasa arab adalah bahasa yang tinggi nilai ke sastraannya sehingga tak banyak orang yang memahami betul bahasa arab tersebut kecuali orang yang mempelajari ilmu tersebut.
Dikarenakan tingginya nilai sastra yang terkandung dalam setiap lafadz arab maka dalam sebuah lafadz nya, bisa memiliki makna yang banyak, balaghah dan ma'aniy serta fashahahnya.

Contohnya lafadz عين ('Ayn) yang bisa mempunyai arti = mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas.
Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
Artinya: “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”


Dalam tata bahasa arab, kata ganti orang pertama tunggal adalah أنا (ANA), dan kata ganti pertama Jamak adalah نحن (NAHNU). akan tetapi dalam bahasa arab kata ganti untuk orang pertama jamak tersebut bisa dan sah-sah saja digunakan sebagai tunggal.
Dalam kaidah bahasa arab (Shorof Nahwu) itu disebut sebagai "Al Mutakallim Al Mu'adzdzim Li Nafsi-i" yaitu yang berfungsi untuk mengagungkan dirinya sendiri.
Inilah yang disebut dengan Dhamir atau kata ganti.

Dhamir "Nahnu" adalah kata ganti dalam bentuk jamak yang mempunyai arti "kita" atau "kami". Dan dalam Ilmu Nahwu maknanya tidak hanya "kita" atau "kami", tetapi bisa "saya" dan yang lainnya, yang tetap kepada fungsinya yaitu untuk mengagungkan diri sendiri

Menurut saya, permasalahan sebenarnya bukan bertumpu pada gramer arab, tapi lebih kepada sifat dan tabi'at mereka yang akan terus dan selalu mencari-cari kesalahan untuk menjatuhkan Islam.
Semoga penjelasan ini bisa di fahami dan bisa di mengerti.

Tidak mungkin aqidah Islam yang sangat logis dan kuat itu mampu dipatahkan hanya dengan permainan logika bahasa yang setengah-setengah yang dilakukan oleh kaum kuffar.



Jika Lafadz “KAMI” dalam Qur’an diartikan sebagai lebih dari 1, lalu mengapa orang arab yang jauh lagi faham akan bahasa arab tidak mengartikan jamak dan tidak menyembah lebih dari 1 ALLAH?

Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Sedangkan Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ‘Nahnu”, ada juga kata "antum" yang sering digunakan untuk menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna "antum" adalah kalian (jamak) dan bukan tunggal.
Fungsinya sama, yaitu untuk mengagungkan, dalam konteks "antum" itu untuk mengagungkan lawan bicara tersebut.

Kelebihan orang islam adalah nilai kesopanannya yang tinggi, itu bisa kita temukan dalam penggunaan bahasanya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan panggilan "antum", itulah panggilan yang sopan dan ramah serta penghormatan ketimbang menggunakan sapaan "anta".
Kata "Nahnu" tidak selalu bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini bisa dipelajari dalam ilmu balaghah.


Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan . . . “.
Padahal Kepala Sekolah hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “Kami”. Lalu apakah kalimat itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?

Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing yang tidak mengerti rasa bahasa. Atau mungkin juga karena di barat tidak lazim digunakan kata-kata seperti itu.

Kalau umat kristiani tidak bisa faham rasa bahasa ini, harap maklum saja, karena alkitab bible mereka memang telah kehilangan rasa bahasa. Bahkan bukan hanya kehilangan rasa bahasa, tapi juga kehilangan kesucian sebuah kitab suci.
Seperti yg sudah diketahui banyak orang, alkitab Kristiani merupakan terjemahan dari terjemahan yang telah diterjemahkan dari terjemahan sebelumnya.
Ada sekian ribu versi bible yang antara satu dan lainnya bukan saja tidak sama tapi juga bertolak belakang. Jadi wajar bila alkitab Kristen mereka itu tidak punya balaghoh, nilai sastra tinggi, logika, rasa dan gaya bahasa yang indah. Dia adalah tulisan karya manusia yang kering dari nilai sakral.


Di dalam Al-Quran ada penggunaan yang kalau kita pahami secara harfiyah akan berbeda dengan kenyataannya. Misalnya penggunaan kata ‘ummat’. Biasanya kita memahami bahwa makna ummat adalah kumpulan dari orang-orang. Minimal menunjukkan sesuatu yang banyak. Namun Al-Quran ketika menyebut Nabi Ibrahim yang saat itu hanya sendiri saja, tetap disebut dengan ummat.

Sesungguhnya Ibrahim adalah “UMMATAN” yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif . Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (QS. An-Nahl : 120)


B. Penggunaan Kedua.

Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan tersebut, Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain dzat-Nya sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz (penghafal) dll. (Coba perhatikan baik-baik, kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Qur’an [dalam format kalimat aktif], Allah cenderung menggunakan kata Kami).

Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr [Al-Qur'an] dan Kami Penjaganya
(keaslian)”. [QS.Al-Hijr:9].
Contoh lain, coba lihat ayat-ayat tentang mencari rezki. Dalam ayat-ayat tersebut. Allah sering
menggunakan kata Kami; artinya, rezki harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki sudah ditentukan oleh Allah.


C. Penggunaan Ketiga.
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit. Di sini, selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar, Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Ke maha an-Nya” kepada manusia, agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.


Contoh.
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam), lalu KAMI bentuk tubuhmu, kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk
mereka yang bersujud” (QS. Al-A’raf 7:11)


Bagi penghujat Islam persoalan Kata Kami di banyak ayat Al Qur'an dituduh sebagai sebagai bukti adanya ayat ayat Al Qur'an yang bertentangan dengan ayat ayat Al Qur'an lainnya yang sangat jelas dan tegas bahwa Allah adalah Esa.
dan Bagi Misionaris adanya kata kami yang merujuk kepada Allah dijadikan pembenaran kalau ayat ayat Al Qur'an membenarkan konsep ketuhanan Trinitas.

Tuduhan tuduhan tersebut hanya berdasarkan argumentasi yang sangat dangkal dalam memahami kata "KAMI",yang mereka simpulkan secara absolut bahwa kata kami merujuk kata ganti jamak.
Didalam kitab “Fatawa al Azhar” disebutkan bahwa sesungguhnya Al Qur’an al Karim diturunkan dari sisi Allah swt dengan bahasa arab yang merupakan bahasa Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan diturunkan dengan tingkat balaghah dan kefasehan tertinggi.

Artinya : “Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy Syuara’ : 195)

Dan merupakan suatu kebiasaan dikalangan orang-orang Arab bahwa seorang pembicara mengungkapkan tentang dirinya dengan menggunakan lafazh أنا (saya) dan jika terdapat orang lain bersamanya maka menggunakan lafazh نحن (kami) sebagaimana lafazh نحن (kami) digunakan si pembicara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Pengagungan manusia terhadap dirinya sendiri dikarenakan dirinya memiliki berbagai daya tarik untuk diagungkan.

Bisa jadi hal itu dikarenakan dia memiliki jabatan, reputasi, kedudukan atau nasab lalu dia membicarakan tentang dirinya itu sebagai bentuk keagungan dan kebesaran. Bisa jadi juga untuk memberikan perasaan takut didalam hati orang lain seakan-akan dirinya sebanding dengan beberapa orang bukan dengan hanya satu orang. Bisa jadi seseorang mengungkapkan dirinya dengan lafazh نحن (kami) karena begitu banyak keahliannya seakan-akan beberapa orang ada didalam diri satu orang. Sehingga bentuk plural dan jama’ itu adalah pada pengaruhnya bukan pada si pemberi pengaruh.
Bentuk pengagungan diri pembicara atau orang yang diajak bicara terdapat pula didalam bahasa-bahasa lainnya bukan hanya didalam bahasa arab dan digunakan pula untuk tujuan-tujuan seperti disebutkan diatas.

Apabila Allah swt Tuhan Pemilik Keagungan berfirman :
Artinya : “Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka.” (QS. Al Insan : 28)
Posisi Allah di situ sebagai pemberi karunia kepada semua makhluk, pemberi nikmat, memberikan perasaan takut dan membuat lari orang-orang kafir sesuai dengan kata ganti pengagungan terhadap diri-Nya yang memberikan makna kuat dan gagah.
Dan apabila Allah berfirman :

Artinya : “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr : 9)

Posisi di situ sebagai pemilik kemampuan yang mampu memberikan ketenangan berupa pemeliharaan Allah terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan dengan kekuasaan dan hikmah-Nya. Dan apabila Allah berfirman :

Artinya : “Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),” (QS. Ghafir : 15)

Allah SWT itu bukan manusia dan bukan pula makhluk hidup dengan jenis kelamin. Maka Dia bukan laki-laki dan juga bukan perempuan, bukan pula banci (na'udzubillah minta dzalik).

Adapun bahasa arab, memang punya 14 dhamir atau kata ganti orang. Mulai dari huwa sampai nahnu. Huwa adalah kata ganti untuk orang ketiga, tunggal dan laki-laki.
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti orang ini sering juga diterapkan untuk lafadz Allah SWT. Al-Quran membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa). Di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci.

Kalau ternyata Al-Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki.

Penggunaan kata ganti huwa (yang sebenarnya untuk laki-laki) adalah ragam keistimewaan bahasa arab yang tidak ada seorang pun meragukannya.

Maka demikian pula dengan penggunaan kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untukkata ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan, namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.

Orang arab sendiri akan terpingkal-pingkal kalau melihat cara orang Indonesia berusaha menyesatkan orang lain lewat logika aneh bin ajaib seperti ini, yaitu mengatakan Allah itu banyak hanya lantaran di Al-Quran Allah seringkali menggunakan kata ganti kami (nahnu). Betapa kerdilnya logika yang dikembangkan, niatnya mau sok tahu dengan bahasa arab, sementara orang arab sendiri mafhum bahwa bahasa mereka istimewa.

Tidak semua kata nahnu (kami) selalu berarti pelakunya banyak. Memang benar secara umum kata nahnu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi orang yang bodoh dengan bahasa arab terkecoh besar dengan ungkapan ini. Sebenarnya kata kami tidak selalu menunjukkan jumlah yang banyak, tetapi juga menunjukkan kebesaran orang yang menggunakannya.
Misalnya, seorang presiden dari negara arab mengatakan begini, "Kami menyampaikan salam kepada kalian", apakah berarti jumlah presiden negara itu ada lima orang? Tentu saja tidak. Sebab kata "kami" yang digunakannya menggambarkan kebesaran negara dan bangsanya, bukan menunjukkan jumlah presidennya.

Tukang becak di pinggir jalan pun tahu bahwa yang namanya presiden di semua negara pastilah jumlahnya cuma satu, tidak mungkin ada lima. Hanya orang bodoh saja yang mengatakan presiden ada lima. Jadi sangat naif sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada banyak, hanya gara-gara Dia menyebut dirinya dengan lafadz KAMI.

Jika ada orang kufar berani mengganggu iman Islam, maka katakanlah yg HAQ itu HAQ & katakan pula yg BATHIL itu BATHIL. Sampaikanlah dengan hikmah & cara yg baik.

"Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka"(QS. Al-Ankabuut: 46).

Wallahu'alam bishshowab

No comments:

Post a Comment