Islamic Defenders - TERLAHIR di lingkungan keluarga Tionghoa yang menganut agama
Tapekkong di daerah PTP Perkebunan V Sei Karang, Kebun Tanah Raja
(sekitar 50 km dari kota Medan). Lahir 18 Mei 1954 dengan nama Siong
Thiam (dialek Hokkian) atau Song Thien dalam dialek Mandarin.
Sejak
kecil, Ayah dan ibunya telah membiasakan Siong Thiam dan kesepuluh
orang adiknya untuk melaksanakan upacara keagamaan dengan baik.
Misalnya, diajak sembahyang di Klenteng maupun di rumah, seperti
menyembah malaikat (pay sin) setiap pertengahan dan akhir bulan. Juga
menyembah bulan (pay guek nio) setiap tanggal 15 bulan 1 dan tanggal 15
bulan 8 (dalam kalender Cina). Pada setiap awal tahun, mereka menyembah
Tuhan Langit (Thi Kong), tetapi lebih sering disebut Pay Jhit Thau
(menyembah matahari).
Lingkungan perkebunan dengan berbagai suku
yang bekerja, seperti orang Melayu Deli, orang Batak, Mandailing, dan
juga keturunan Jawa, telah membentuk pergaulan Siong Thiam. Sejak kecil
ia sudah akrab dengan kawan-kawannya yang terdiri atas berbagai suku
bangsa. Dari pergaulan dengan lingkungannya ini pula Siong Thiam kecil
mulai mengenal agama lain di luar agama keIuarganya. Ia sudah dapat
merasakan betapa meriahnya kaum muslimin merayakan Idul Fitri (Lebaran)
dan orang Kristen merayakan Natal.
Setamatnya di SD di Perkebunan
Tanah Raja, Siong Thiam melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Perbaungan
(sekitar 30 km dari Medan). Di sekolah inilah ia mulai mengetahui
pokok-pokok ajaran agama Islam yang disampaikan Ustadz Syahruddin Asid
pada pelajaran agama di sekolah tersebut. Sebetulnya, bagi siswa yang
bukan Islam boleh meninggalkan kelas sewaktu pelajaran agama (Islam)
tersebut, namun Siong Thiam memilih tetap di dalamn kelas.
Sewaktu
ibunya melahirkan adik yang kesepuluh, dan ternyata kembar dua tapi
satu meninggal dunia. Oleh Ayahnya, yang meninggal itu dikuburkan begitu
saja, tanpa upacara, sebagaimana lazimnya jika yang meninggal itu orang
dewasa (tua). Bahkan, petinya diambil dari bekas kotak sabun. Betapa
sedihnya hati Siong Thiam ketika menyaksikan kenyataan tersebut.
Alangkah berbeda ketika ia menyaksikan penghormatan luar biasa yang
diberikan tatkala pamannya yang sudah tua meninggal dunia. Segala
perbekalan ikut dimasukkan ke dalam kuburan, sebagaimana layaknya
seorang hidup yang akan bepergian jauh.
Ketika persoalan
perlakuan yang berbeda ini, Siong Thian bertanya kepada orang tuanya, ia
dibuat terperanjat sebab menurut paham yang diyakini secara
turun-temurun oleh penganut Toapekkong bahwa bila yang mati itu anak
kecil atau bayi, maka kematiannya dianggap suatu malapetaka, pembawa
sial bagi seluruh keluarga. Mendengar keterangan yang seperti itu,
kecutlah hatinya, karena pada saat itu ia masih termasuk anak-anak
(remaja) yang masih bersekolah. Sejak kejadian itu, Siong Thiam pun
menjadi ragu dengan kebenaran ajaran yang dianut keluarganya, karena
membedakan manusia dari umumya, bukan dari amal perbuatannya.
Sejak
peristiwa yang mengganggu pikiran itu, Siong Thian pun berusaha mencari
dan mempelajari agama lain. Apalagi pada saat itu (antara tahun
1966-1967) kesadaran beragama sedang marak-maraknva, setelah gagalnya
kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang terkenal sebagai G 30 S/PKI.
Dimana-mana Ia selalu menyaksikan masjid dan mushala penuh sesak.
Begitupun jemaat di gereja. Semua itu tentu saja berpengaruh kepada
jiwanya yang baru berusia 14 tahun. Karena di lingkungan tempat
tinggalnya mayoritas Islam, maka saya lebih dulu tertarik kepada Islam.
Tetapi, ketika mendengar isi ajaran Islam dari teman-temannya, rasa
tertarik pun jadi sirna seketika, karena banyak isi ajaran Islam yang
berlawanan dengan hobi dan kegemarannya.
Menurut penilaian Siong
Thiam waktu itu, isi ajaran agama Islam terlalu berat. Terlampau banyak
mengharamkan kebiasaan dan kegemaran saya. Ini tidak boleh, itu pun
tidak boleh. Tidak heran, bila saat itu ia lebih tertarik kepada ajaran
agama Kristen yang menghalalkan apa yang dihalalkan oleh ajaran agama
yang dianut leluhur kami.
Namun, Siong Thiam tidak segera
memasuki agama Kristen. Dia takut salah pilih, dan nantinya terpaksa
meninggalkannya pula. Ia tidak ingin disebut plin-plan, suatu gelar yang
tidak enak didengar. Maka, ia pun mulai membanding-bandingkan kedua
agama (Islam dan Kristen) tersebut, walaupun dengan pengetahuan yang
terbatas berdasarkan pelajaran yang ia dapat di sekolah dan juga dari
teman-temannya.
Pada saat jiwanya sedang mencari pegangan hidup,
kaum muslimin di lingkungannya membangun masjid. Kebetulan masjid
tersebut dibangun persis bersebelahan dengan rumahnya. Tempat wudhunya
yang terbuka, secara kebetulan pula setentang dengan letak dapur
rumahnya. Jadi, pada setiap petang-menjelang magrib, ia dapat
menyaksikan orang berwudhu dan shalat di sana.
Mulanya Siong
Thiam hanya memandang heran terhadap apa yang mereka kerjakan, baik kala
berwudhu maupun saat shalat. Tetapi lama-kelamaan, pandangannya itu
berubah dan melahirkan suatu ketakutan yang luar biasa, mungkin lebih
daripada apa yang mereka lakukan dan rasakan. Rasanya, belum ada agama
yang mengajarkan kebersihan dan keagungan setinggi ini, kecuali ajaran
agama Islam. Bersih pakaian, bersih badan, bersih tempat, dan bersih
hati, untuk menghadap Tuhan Yang Mahasuci. Dengan demikian, Ia pun mulai
tertarik kepada ajaran agama Islam.
Hatinya berkata, “Inilah
agama yang harus kupilih dan kujadikan pegangan hidupku.” Tetapi sayang,
terlampau banyak ajaran Islam yang mengharamkan hobi dan kegemaran
saya.
Sampai pada suatu hari di bulan Februari 1969, Siong Thiam
menderita penyakit berat. Badannya menjadi kurus dan ceking. Ia hanya
berbaring di tempat tidur. Kata dokter, ia menderita malaria tropicana.
Tiba-tiba suatu bayangan yang mengerikan mendadak menyusup ke dalam
hatinya. Betapa tidak, bila ia mati saat itu, berdiri bulu roma
membayangkan bila ia mati saat itu, disaat masih dianggap mendatangkan
kesialan bagi keluarga. Belum lagi membayangkan apa yang akan ia temui
setelah berada di dalam kubur. Di saat seperti itulah ia mengharapkan
pertolongan. Tetapi, kepada siapa ?
Secara bergantian terlintas
Toapekkong yang disembah orang di Klenteng dan patung Yesus yang
disembah orang Kristen di gereja. Tetapi, keduanya tidak mampu
menenteramkan kegundahan saya. Di.saat itulah, sayup-sayup terdengar
suara azdan maghrib dari masjid sebelah rumah. Terbayanglah olehnya saat
mereka berdo’a mengangkat tangan dan menengadah, dari saat mereka
shalat menyembah Tuhan dengan mengangkat kedua tangan sambil menundukkan
kepala. Saat mereka berada dalam kesucian dan keheningan menghadap
Tuhan mereka.
“Ya, Tuhan in ilah yang dapat menolongku. Dialah
Tuhan satu-satunya. Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya. Tuhan
yang disembah orang-orang Islam. Dialah yang dapat menolongku.”
Begitulah suara batin Siong Thiam saat itu.
Tanpa ia sadari
sepenuhnya, tiba-tiba bibirnya berbisik pelan, “Tuhan berilah aku
kesempatan untuk memasuki agamaMu, agar aku dapat mengamalkan ajaran
agama-Mu!”
Tampaknya Tuhan memberikan kesempatan, dan ia pun
merasa kian sembuh dari penyakit. Tanpa menanti waktu lebih lama, karena
ia tidak tahu apakah ia akan sembuh benar atau tidak, ia pun pergi
meninggalkan rumah dan keluarga menuju ke tempat di mana ia dapat masuk
Islam.
Singkat cerita, pada hari Kamis, 3 April. 1969, di Masjid
Taqwa Lubuk Pakam, Siong Thiam mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat,
dibimbing Ustadz Hasan Basri, disaksikan para jamaah yang memenuhi
ruangan masjid itu. Allahu Akbar!
Setelah merasa sembuh benar,
Siong Thiam kembali ke rumah orang tuanya. Rupanya seisi rumah sudah
mengetahui perihal keIslamannya. Mama menyambutnya dengan isak tangis.
Dan, dalam dekapannya mama membisikkan ucapan yang tidak pemah dapat
saya lupakan sepanjang hidup. “Mama tidak dapat menahanmu kalau kau
masuk Islam. Tetapi mama pesan, kalau masuk Islam jadilah orang Islam
yang benar. Jangan kepalang tanggung: Kalau tidak, kembalilah segera
sebelum bertambah jauh.”
Pesan mama inilah yang menyadarkan
kewajibannya untuk segera memahami dan mendalami ajaran Islam. Maka,
Siong Thiam yang mendapat nama baru Alifuddin El-Islamy pun mulai
merantau menuntut ilmu agama. Setelah belajar Al Qur’an kepada Ustadz
Ahmad Onga (ahnarhum) di Lubuk Pakam, Ia pun melanjutkan pelajaran ke
Bukittinggi berguru kepada Bapak Sabiran Datuk Gunung Kayo. Setelah itu,
Ia berguru kepada Buya H. Nawawi Arief di Padang Panjang, Sumatra
Barat. Di samping belajar, ia juga aktif berdakwah. Beberapa tempat
telah ia singgahi. Bahkan, ketika ia pindah ke Palembang untuk
melanjutkan pendidikan ke IAIN Raden Fatah, ia sudah ditempatkan di
bagian Pembinaan Kerohanian PT Pupuk Sriwijaya Palembang, dan bekerja di
sana selama 11 tahun. Dan kini ia aktif di kepengurusan DPP PITI
sebagai salah satu Ketua PITI.
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik