Pages

Sunday, January 27, 2013

Shiong Thiam : ‘Adikku Dikubur Dalam kotak Sabun’

Islamic Defenders - TERLAHIR di lingkungan keluarga Tionghoa yang menganut agama Tapekkong di daerah PTP Perkebunan V Sei Karang, Kebun Tanah Raja (sekitar 50 km dari kota Medan). Lahir 18 Mei 1954 dengan nama Siong Thiam (dialek Hokkian) atau Song Thien dalam dialek Mandarin.

Sejak kecil, Ayah dan ibunya telah membiasakan Siong Thiam dan kesepuluh orang adiknya untuk melaksanakan upacara keagamaan dengan baik. Misalnya, diajak sembahyang di Klenteng maupun di rumah, seperti menyembah malaikat (pay sin) setiap pertengahan dan akhir bulan. Juga menyembah bulan (pay guek nio) setiap tanggal 15 bulan 1 dan tanggal 15 bulan 8 (dalam kalender Cina). Pada setiap awal tahun, mereka menyembah Tuhan Langit (Thi Kong), tetapi lebih sering disebut Pay Jhit Thau (menyembah matahari).

Lingkungan perkebunan dengan berbagai suku yang bekerja, seperti orang Melayu Deli, orang Batak, Mandailing, dan juga keturunan Jawa, telah membentuk pergaulan Siong Thiam. Sejak kecil ia sudah akrab dengan kawan-kawannya yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Dari pergaulan dengan lingkungannya ini pula Siong Thiam kecil mulai mengenal agama lain di luar agama keIuarganya. Ia sudah dapat merasakan betapa meriahnya kaum muslimin merayakan Idul Fitri (Lebaran) dan orang Kristen merayakan Natal.
Setamatnya di SD di Perkebunan Tanah Raja, Siong Thiam melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Perbaungan (sekitar 30 km dari Medan). Di sekolah inilah ia mulai mengetahui pokok-pokok ajaran agama Islam yang disampaikan Ustadz Syahruddin Asid pada pelajaran agama di sekolah tersebut. Sebetulnya, bagi siswa yang bukan Islam boleh meninggalkan kelas sewaktu pelajaran agama (Islam) tersebut, namun Siong Thiam memilih tetap di dalamn kelas.

Sewaktu ibunya melahirkan adik yang kesepuluh, dan ternyata kembar dua tapi satu meninggal dunia. Oleh Ayahnya, yang meninggal itu dikuburkan begitu saja, tanpa upacara, sebagaimana lazimnya jika yang meninggal itu orang dewasa (tua). Bahkan, petinya diambil dari bekas kotak sabun. Betapa sedihnya hati Siong Thiam ketika menyaksikan kenyataan tersebut. Alangkah berbeda ketika ia menyaksikan penghormatan luar biasa yang diberikan tatkala pamannya yang sudah tua meninggal dunia. Segala perbekalan ikut dimasukkan ke dalam kuburan, sebagaimana layaknya seorang hidup yang akan bepergian jauh.

Ketika persoalan perlakuan yang berbeda ini, Siong Thian bertanya kepada orang tuanya, ia dibuat terperanjat sebab menurut paham yang diyakini secara turun-temurun oleh penganut Toapekkong bahwa bila yang mati itu anak kecil atau bayi, maka kematiannya dianggap suatu malapetaka, pembawa sial bagi seluruh keluarga. Mendengar keterangan yang seperti itu, kecutlah hatinya, karena pada saat itu ia masih termasuk anak-anak (remaja) yang masih bersekolah. Sejak kejadian itu, Siong Thiam pun menjadi ragu dengan kebenaran ajaran yang dianut keluarganya, karena membedakan manusia dari umumya, bukan dari amal perbuatannya.

Sejak peristiwa yang mengganggu pikiran itu, Siong Thian pun berusaha mencari dan mempelajari agama lain. Apalagi pada saat itu (antara tahun 1966-1967) kesadaran beragama sedang marak-maraknva, setelah gagalnya kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang terkenal sebagai G 30 S/PKI. Dimana-mana Ia selalu menyaksikan masjid dan mushala penuh sesak. Begitupun jemaat di gereja. Semua itu tentu saja berpengaruh kepada jiwanya yang baru berusia 14 tahun. Karena di lingkungan tempat tinggalnya mayoritas Islam, maka saya lebih dulu tertarik kepada Islam. Tetapi, ketika mendengar isi ajaran Islam dari teman-temannya, rasa tertarik pun jadi sirna seketika, karena banyak isi ajaran Islam yang berlawanan dengan hobi dan kegemarannya.

Menurut penilaian Siong Thiam waktu itu, isi ajaran agama Islam terlalu berat. Terlampau banyak mengharamkan kebiasaan dan kegemaran saya. Ini tidak boleh, itu pun tidak boleh. Tidak heran, bila saat itu ia lebih tertarik kepada ajaran agama Kristen yang menghalalkan apa yang dihalalkan oleh ajaran agama yang dianut leluhur kami.

Namun, Siong Thiam tidak segera memasuki agama Kristen. Dia takut salah pilih, dan nantinya terpaksa meninggalkannya pula. Ia tidak ingin disebut plin-plan, suatu gelar yang tidak enak didengar. Maka, ia pun mulai membanding-bandingkan kedua agama (Islam dan Kristen) tersebut, walaupun dengan pengetahuan yang terbatas berdasarkan pelajaran yang ia dapat di sekolah dan juga dari teman-temannya.

Pada saat jiwanya sedang mencari pegangan hidup, kaum muslimin di lingkungannya membangun masjid. Kebetulan masjid tersebut dibangun persis bersebelahan dengan rumahnya. Tempat wudhunya yang terbuka, secara kebetulan pula setentang dengan letak dapur rumahnya. Jadi, pada setiap petang-menjelang magrib, ia dapat menyaksikan orang berwudhu dan shalat di sana.

Mulanya Siong Thiam hanya memandang heran terhadap apa yang mereka kerjakan, baik kala berwudhu maupun saat shalat. Tetapi lama-kelamaan, pandangannya itu berubah dan melahirkan suatu ketakutan yang luar biasa, mungkin lebih daripada apa yang mereka lakukan dan rasakan. Rasanya, belum ada agama yang mengajarkan kebersihan dan keagungan setinggi ini, kecuali ajaran agama Islam. Bersih pakaian, bersih badan, bersih tempat, dan bersih hati, untuk menghadap Tuhan Yang Mahasuci. Dengan demikian, Ia pun mulai tertarik kepada ajaran agama Islam.

Hatinya berkata, “Inilah agama yang harus kupilih dan kujadikan pegangan hidupku.” Tetapi sayang, terlampau banyak ajaran Islam yang mengharamkan hobi dan kegemaran saya.

Sampai pada suatu hari di bulan Februari 1969, Siong Thiam menderita penyakit berat. Badannya menjadi kurus dan ceking. Ia hanya berbaring di tempat tidur. Kata dokter, ia menderita malaria tropicana. Tiba-tiba suatu bayangan yang mengerikan mendadak menyusup ke dalam hatinya. Betapa tidak, bila ia mati saat itu, berdiri bulu roma membayangkan bila ia mati saat itu, disaat masih dianggap mendatangkan kesialan bagi keluarga. Belum lagi membayangkan apa yang akan ia temui setelah berada di dalam kubur. Di saat seperti itulah ia mengharapkan pertolongan. Tetapi, kepada siapa ?

Secara bergantian terlintas Toapekkong yang disembah orang di Klenteng dan patung Yesus yang disembah orang Kristen di gereja. Tetapi, keduanya tidak mampu menenteramkan kegundahan saya. Di.saat itulah, sayup-sayup terdengar suara azdan maghrib dari masjid sebelah rumah. Terbayanglah olehnya saat mereka berdo’a mengangkat tangan dan menengadah, dari saat mereka shalat menyembah Tuhan dengan mengangkat kedua tangan sambil menundukkan kepala. Saat mereka berada dalam kesucian dan keheningan menghadap Tuhan mereka.

“Ya, Tuhan in ilah yang dapat menolongku. Dialah Tuhan satu-satunya. Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya. Tuhan yang disembah orang-orang Islam. Dialah yang dapat menolongku.” Begitulah suara batin Siong Thiam saat itu.

Tanpa ia sadari sepenuhnya, tiba-tiba bibirnya berbisik pelan, “Tuhan berilah aku kesempatan untuk memasuki agamaMu, agar aku dapat mengamalkan ajaran agama-Mu!”

Tampaknya Tuhan memberikan kesempatan, dan ia pun merasa kian sembuh dari penyakit. Tanpa menanti waktu lebih lama, karena ia tidak tahu apakah ia akan sembuh benar atau tidak, ia pun pergi meninggalkan rumah dan keluarga menuju ke tempat di mana ia dapat masuk Islam.

Singkat cerita, pada hari Kamis, 3 April. 1969, di Masjid Taqwa Lubuk Pakam, Siong Thiam mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dibimbing Ustadz Hasan Basri, disaksikan para jamaah yang memenuhi ruangan masjid itu. Allahu Akbar!

Setelah merasa sembuh benar, Siong Thiam kembali ke rumah orang tuanya. Rupanya seisi rumah sudah mengetahui perihal keIslamannya. Mama menyambutnya dengan isak tangis. Dan, dalam dekapannya mama membisikkan ucapan yang tidak pemah dapat saya lupakan sepanjang hidup. “Mama tidak dapat menahanmu kalau kau masuk Islam. Tetapi mama pesan, kalau masuk Islam jadilah orang Islam yang benar. Jangan kepalang tanggung: Kalau tidak, kembalilah segera sebelum bertambah jauh.”

Pesan mama inilah yang menyadarkan kewajibannya untuk segera memahami dan mendalami ajaran Islam. Maka, Siong Thiam yang mendapat nama baru Alifuddin El-Islamy pun mulai merantau menuntut ilmu agama. Setelah belajar Al Qur’an kepada Ustadz Ahmad Onga (ahnarhum) di Lubuk Pakam, Ia pun melanjutkan pelajaran ke Bukittinggi berguru kepada Bapak Sabiran Datuk Gunung Kayo. Setelah itu, Ia berguru kepada Buya H. Nawawi Arief di Padang Panjang, Sumatra Barat. Di samping belajar, ia juga aktif berdakwah. Beberapa tempat telah ia singgahi. Bahkan, ketika ia pindah ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke IAIN Raden Fatah, ia sudah ditempatkan di bagian Pembinaan Kerohanian PT Pupuk Sriwijaya Palembang, dan bekerja di sana selama 11 tahun. Dan kini ia aktif di kepengurusan DPP PITI sebagai salah satu Ketua PITI.

No comments:

Post a Comment