Dewasa ini berhembus pemahaman yang  mengatakan bahwa Alloh bersemayam atau bertempat di Arsy. Sementara Arsy  berada di atas langit. Pemahaman ini sering di klaim sebagai pemahaman  salafuna sholih, dan juga merupakan aqibah dari Imam empat yaitu Hanafi,  Maliki, Syafi’I dan hanbali. Banyak kalangan terkesima dengan paham ini  dan bahkan sebagian kalangan banting setir dengan membid’ahkan  habis-habisan pemahaman salaf yang benar. Mereka tidak segan untuk  memberikan gelar jahmiyah, murji’ah dan bukan golongan Ahlu Sunnah.
Pandangan Ahlus Sunnah
Perlu diketahui bahwa Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa Alloh itu wujud tanpa tempat. Imam besar Ahulu Sunnah Abi Hasan Al Asy’ari dalam Al Ibanahnya mengatakan:
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله، وبالمعنى الذي أراده، استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال
Sesungguhnya Alloh Istiwa’ di Arsy  sesuai dengan apa yang Ia firmankan dan mempunyai makna sesuai apa yang  Ia kehendaki. Istiwa’ yang suci dari bersinggungan, bertempat, berbaur  dan pindah (Al Ibanah.hal.5).
Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa Alloh ada tanpa tempat, sebagaimana dipahami dari ungkapan beliau :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah  pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut,  juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di  arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia  tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah  membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk  menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau  lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika  Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum  menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy  Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya,  berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah  maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat  al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq  Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari  dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada  orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan  dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada  tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum  segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat  al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan  risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Sementara itu Imam Malik Imam  Darul Hijrah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam  karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik  (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam  Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn  Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis  al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya  berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah  Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik  mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan  badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat  kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa  sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan  bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya.  Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah,  keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan  dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Adapun Imam Asy-Syafi’I berkata dengan sangat jelas :
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat.  Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat.  Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum  menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya  perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena  sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila  demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu  yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci  dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri  dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya  sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya  terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari  Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami,  istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh  al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama  tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam  asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban  yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya  bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar  mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan  membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia  tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas  orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti  yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak  berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan  segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan  arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh  al-Akbar, h. 13).
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad  ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang  agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan  beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada  ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa yang tersebar di kalangan  orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa  beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh  hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya”  (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)
Menyelewengkan Makna Hadits al-Jariyah
Ada sebuah hadits yang dikenal dengan  Hadits al-Jariyah, hadits tentang seorang budak perempuan yang  dihadapkan kepada Rasulullah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam  Muslim; bahwa seorang sahabat datang menghadap Rasulullah menanyakan  prihal budak perempuan yang dimilikinya, ia berkata: ”Wahai Rasulullah,  tidakkah aku merdekakan saja?”. Rasulullah berkata: ”Datangkanlah budak  perempuan tersebut kepadaku”. Setelah budak perempuan tersebut  didatangkan, Rasulullah bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak  tersebut menjawab: “Fi as-sama’”. Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”.  Budak menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada  pemiliknya): “Merdekakanlah budak ini, sesungguhnya ia seorang yang  beriman” . (HR. Muslim)
Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa  Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah,  tetapi makna “Fi as-Sama’” dalam perkataan budak tersebut adalah untuk  mengungkapkan bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan  keagungan-Nya. Pemahaman teks ini harus demikian agar sesuai dengan  pemahaman bahasa. Seperti perkataan salah seorang penyair mashur;  an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya berkata:
بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا # وَإنّا لَنَرْجُو فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا
“Kemuliaan dan kebesaran kami telah  mencapai langit, dan sesungguhnya kita mengharapkan hal tersebut lebih  tinggi lagi dari pada itu”
Pemahaman bait syair ini bukan berarti  bahwa kemuliaan mereka bertempat di langit, tetapi maksudnya bahwa  kemuliaan mereka tersebut sangat tinggi.
Kemudian dari pada itu, sebagian ulama  hadits telah mengkritik Hadits al-Jariyah ini, mereka mengatakan bahwa  hadits tersebut sebagai hadits mudltharib, yaitu hadits yang  berbeda-beda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, baik dari segi  sanad (mata rantai) maupun matan-nya (redaksi). Kritik mereka ini dengan  melihat kepada dua segi berikut;
Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan  dengan sanad dan matan (redaksi) yang berbeda-beda; ini yang dimaksud  hadits mudltharib. Di antaranya; dalam matan Ibn Hibban dalam kitab  Shahih-nya diriwayatkan dari asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai  berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi) berkata: “Wahai  Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat kepadaku agar aku memerdekakan  seorang budak atas nama dirinya, dan saya memiliki seorang budak  perempuan hitam”. Lalu Rasulullah berkata: “Panggilah dia!”. Kemudian  setelah budak perempuan tersebut datang, Rasulullah berkata kepadanya:  “Siapakah Tuhanmu?”, ia menjawab: “Allah”. Rasulullah berkata: “Siapakah  aku?”, ia menjawab: “Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata:  “Merdekakanlah ia karena ia seorang budak perempuan yang beriman” .
Sementara dalam redaksi riwayat al-Imam  al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut  dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu kemudian budak  perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit. Dalam  riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.
Kemudian dalam riwayat lainnya, masih  dalam riwayat al-Imam al-Bayhaqi, Hadits al-Jariyah ini diriwayatkan  dengan redaksi: “Siapa Tuhanmu?”. Budak perempuan tersebut menjawab:  “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah berkata: “Apakah agamamu?”. Ia  menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”. Ia menjawab:  “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliki budak:  “Merdekakanlah!” .
Dalam riwayat lainnya, seperti yang  dinyatakan oleh al-Imam Malik, disebutkan dengan memakai redaksi:  “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah  kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata:  “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, budak tersebut  menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau beriman dengan  kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Lalu  Rasulullah berkata kepada pemiliknya: “Merdekakanlah ia” .
Riwayat al-Imam Malik terakhir disebut  ini adalah riwayat yang sejalan dengan dasar-dasar akidah, karena dalam  riwayat itu disebutkan bahwa budak perempuan tersebut sungguh-sungguh  datang dengan kesaksiannya terhadap kandungan dua kalimat syahadat  (asy-Syahadatayn), walaupun dalam riwayat al-Imam Malik ini tidak ada  ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah” (Sesungguhnya ia seorang yang beriman)”.
Dengan demikian riwayat al-Imam Malik  ini lebih kuat dari pada riwayat al-Imam Muslim, karena riwayat al-Imam  Malik ini sejalan dengan sebuah hadits mashur, bahwa Rasulullah  bersabda:
أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله (رواه البخاري وغيره)
“Aku diperintahkan untuk memerangi  manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak  disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah” .
Riwayat al-Imam Malik ini juga sejalan  dengan sebuah hadits riwayat al-Imam an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra  dari sahabat Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke  tempat seorang Yahudi yang sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah  berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang Yahudi tersebut  kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata: “Ta’atilah  perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku  bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan  aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah  berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api  neraka dengan jalan diriku” .
Ke dua; Bahwa riwayat Hadits al-Jariyah  yang mempergunakan redaksi “Aina Allah?”, adalah riwayat yang menyalahi  dasar-dasar akidah, karena di antara dasar akidah untuk menghukumi  seseorang dengan keislamannya bukan dengan mengatakan “Allah Fi  as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika ada seorang kafir yang  hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah berada di langit.  karena perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat tauhid.  Sebaliknya kata “Allah Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa dipakai  oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, juga orang-orang kafir  lainnya dalam menetapkan keyakinan mereka. Akan tetapi tolak dasar yang  dibenarkan dalam syari’at Allah untuk menghukumi keimanan seseorang  adalah apa bila ia bersaksi dengan dua kalimat syahadat sebagaimana  tersebut dalam hadits mashur di atas.
(Masalah): Jika seseorang berkata:  Bagaimana mungkin riwayat al-Imam Muslim yang menyebutkan dengan redaksi  “Aina Allah?”, yang kemudian dijawab “Fi as-sama’”, sebagai hadits yang  tertolak, padahal bukankah seluruh riwayat al-Imam Muslim dalam kitab  Shahih-nya disebut dengan hadits-hadits shahih?
(Jawab): Terdapat beberapa ulama hadits  telah menolak beberapa riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya tersebut.  Dan andaikan Hadits al-Jariyah tersebut tetap diterima sebagai hadits  shahih, maka hal itu bukan berarti maknanya bahwa Allah bertempat di  langit seperti yang dipahami oleh sebagian orang bodoh, tetapi maknanya  adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali derajat dan keagungannya. Dan di  atas dasar makna inilah sebagian ulama Ahlussunah ada yang tetap  menerima Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam Muslim tersebut sebagai  hadits shahih. Artinya, bahwa mereka tidak memaknai Hadits al-Jariyah  ini dalam pemahaman makna zhahirnya yang seakan menetapkan bahwa Allah  berada di langit. Pemahaman ulama Ahlussunnah ini berbeda dengan  keyakinan kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah sekarang) yang mamahami hadits  tersebut sesuai makna zhahirnya, hingga mereka mengatakan bahwa Allah  berada di langit. Yang aneh, pada saat yang sama mereka juga mengatakan  bahwa Allah berada di atas arsy. di dua tempat heh?!! A’udzu Billah.  Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya seakan Allah berada di arah  bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna zhahirnya. Pemahaman apa  ini?!! Jelas, ini namanya pemahaman “seenak perut”, pemahaman “semau  gue” (tahkkum).
Penjelasan lebih lanjut tentang Hadits  al-Jariyah, baca syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim  ibn al-Hajjaj) karya al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
Oleh: Abi Azka Ar Rifai
 


 


Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik