Pages

Monday, July 23, 2012

Allah Ada Tanpa Tempat

Dewasa ini berhembus pemahaman yang mengatakan bahwa Alloh bersemayam atau bertempat di Arsy. Sementara Arsy berada di atas langit. Pemahaman ini sering di klaim sebagai pemahaman salafuna sholih, dan juga merupakan aqibah dari Imam empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I dan hanbali. Banyak kalangan terkesima dengan paham ini dan bahkan sebagian kalangan banting setir dengan membid’ahkan habis-habisan pemahaman salaf yang benar. Mereka tidak segan untuk memberikan gelar jahmiyah, murji’ah dan bukan golongan Ahlu Sunnah.

Pandangan Ahlus Sunnah

Perlu diketahui bahwa Ahlu Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa Alloh itu wujud tanpa tempat. Imam besar Ahulu Sunnah Abi Hasan Al Asy’ari dalam Al Ibanahnya mengatakan:

وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله، وبالمعنى الذي أراده، استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال

Sesungguhnya Alloh Istiwa’ di Arsy sesuai dengan apa yang Ia firmankan dan mempunyai makna sesuai apa yang Ia kehendaki. Istiwa’ yang suci dari bersinggungan, bertempat, berbaur dan pindah (Al Ibanah.hal.5).
Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa Alloh ada tanpa tempat, sebagaimana dipahami dari ungkapan beliau :

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Sementara itu Imam Malik Imam Darul Hijrah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?. Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Adapun Imam Asy-Syafi’I berkata dengan sangat jelas :

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.

“Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

Menyelewengkan Makna Hadits al-Jariyah

Ada sebuah hadits yang dikenal dengan Hadits al-Jariyah, hadits tentang seorang budak perempuan yang dihadapkan kepada Rasulullah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim; bahwa seorang sahabat datang menghadap Rasulullah menanyakan prihal budak perempuan yang dimilikinya, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan saja?”. Rasulullah berkata: ”Datangkanlah budak perempuan tersebut kepadaku”. Setelah budak perempuan tersebut didatangkan, Rasulullah bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak tersebut menjawab: “Fi as-sama’”. Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”. Budak menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada pemiliknya): “Merdekakanlah budak ini, sesungguhnya ia seorang yang beriman” . (HR. Muslim)
Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah, tetapi makna “Fi as-Sama’” dalam perkataan budak tersebut adalah untuk mengungkapkan bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan keagungan-Nya. Pemahaman teks ini harus demikian agar sesuai dengan pemahaman bahasa. Seperti perkataan salah seorang penyair mashur; an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya berkata:

بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا # وَإنّا لَنَرْجُو فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا

“Kemuliaan dan kebesaran kami telah mencapai langit, dan sesungguhnya kita mengharapkan hal tersebut lebih tinggi lagi dari pada itu”
Pemahaman bait syair ini bukan berarti bahwa kemuliaan mereka bertempat di langit, tetapi maksudnya bahwa kemuliaan mereka tersebut sangat tinggi.
Kemudian dari pada itu, sebagian ulama hadits telah mengkritik Hadits al-Jariyah ini, mereka mengatakan bahwa hadits tersebut sebagai hadits mudltharib, yaitu hadits yang berbeda-beda antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, baik dari segi sanad (mata rantai) maupun matan-nya (redaksi). Kritik mereka ini dengan melihat kepada dua segi berikut;
Pertama: Bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad dan matan (redaksi) yang berbeda-beda; ini yang dimaksud hadits mudltharib. Di antaranya; dalam matan Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dari asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn Suwaid al-Tsaqafi) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat kepadaku agar aku memerdekakan seorang budak atas nama dirinya, dan saya memiliki seorang budak perempuan hitam”. Lalu Rasulullah berkata: “Panggilah dia!”. Kemudian setelah budak perempuan tersebut datang, Rasulullah berkata kepadanya: “Siapakah Tuhanmu?”, ia menjawab: “Allah”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”, ia menjawab: “Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia karena ia seorang budak perempuan yang beriman” .
Sementara dalam redaksi riwayat al-Imam al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu kemudian budak perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.

Kemudian dalam riwayat lainnya, masih dalam riwayat al-Imam al-Bayhaqi, Hadits al-Jariyah ini diriwayatkan dengan redaksi: “Siapa Tuhanmu?”. Budak perempuan tersebut menjawab: “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah berkata: “Apakah agamamu?”. Ia menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”. Ia menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliki budak: “Merdekakanlah!” .
Dalam riwayat lainnya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Malik, disebutkan dengan memakai redaksi: “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah engkau beriman dengan kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliknya: “Merdekakanlah ia” .
Riwayat al-Imam Malik terakhir disebut ini adalah riwayat yang sejalan dengan dasar-dasar akidah, karena dalam riwayat itu disebutkan bahwa budak perempuan tersebut sungguh-sungguh datang dengan kesaksiannya terhadap kandungan dua kalimat syahadat (asy-Syahadatayn), walaupun dalam riwayat al-Imam Malik ini tidak ada ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah” (Sesungguhnya ia seorang yang beriman)”.
Dengan demikian riwayat al-Imam Malik ini lebih kuat dari pada riwayat al-Imam Muslim, karena riwayat al-Imam Malik ini sejalan dengan sebuah hadits mashur, bahwa Rasulullah bersabda:

أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله (رواه البخاري وغيره)

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah utusan Allah” .
Riwayat al-Imam Malik ini juga sejalan dengan sebuah hadits riwayat al-Imam an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra dari sahabat Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke tempat seorang Yahudi yang sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang Yahudi tersebut kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata: “Ta’atilah perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api neraka dengan jalan diriku” .
Ke dua; Bahwa riwayat Hadits al-Jariyah yang mempergunakan redaksi “Aina Allah?”, adalah riwayat yang menyalahi dasar-dasar akidah, karena di antara dasar akidah untuk menghukumi seseorang dengan keislamannya bukan dengan mengatakan “Allah Fi as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika ada seorang kafir yang hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah berada di langit. karena perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat tauhid. Sebaliknya kata “Allah Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa dipakai oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, juga orang-orang kafir lainnya dalam menetapkan keyakinan mereka. Akan tetapi tolak dasar yang dibenarkan dalam syari’at Allah untuk menghukumi keimanan seseorang adalah apa bila ia bersaksi dengan dua kalimat syahadat sebagaimana tersebut dalam hadits mashur di atas.

(Masalah): Jika seseorang berkata: Bagaimana mungkin riwayat al-Imam Muslim yang menyebutkan dengan redaksi “Aina Allah?”, yang kemudian dijawab “Fi as-sama’”, sebagai hadits yang tertolak, padahal bukankah seluruh riwayat al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya disebut dengan hadits-hadits shahih?

(Jawab): Terdapat beberapa ulama hadits telah menolak beberapa riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya tersebut. Dan andaikan Hadits al-Jariyah tersebut tetap diterima sebagai hadits shahih, maka hal itu bukan berarti maknanya bahwa Allah bertempat di langit seperti yang dipahami oleh sebagian orang bodoh, tetapi maknanya adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali derajat dan keagungannya. Dan di atas dasar makna inilah sebagian ulama Ahlussunah ada yang tetap menerima Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam Muslim tersebut sebagai hadits shahih. Artinya, bahwa mereka tidak memaknai Hadits al-Jariyah ini dalam pemahaman makna zhahirnya yang seakan menetapkan bahwa Allah berada di langit. Pemahaman ulama Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah sekarang) yang mamahami hadits tersebut sesuai makna zhahirnya, hingga mereka mengatakan bahwa Allah berada di langit. Yang aneh, pada saat yang sama mereka juga mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. di dua tempat heh?!! A’udzu Billah. Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya seakan Allah berada di arah bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna zhahirnya. Pemahaman apa ini?!! Jelas, ini namanya pemahaman “seenak perut”, pemahaman “semau gue” (tahkkum).

Penjelasan lebih lanjut tentang Hadits al-Jariyah, baca syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj) karya al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
Oleh: Abi Azka Ar Rifai

No comments:

Post a Comment