Pages

Monday, July 23, 2012

Menurut Pendekatan Matematika Allah Itu Maha Satu Atau Maha Esa?

ALLAH MAHA ESA?

Esa bermakna tunggal, sendirian yang tidak berteman, beristri, dan tidak ada sekutu baginya. Tentunya makna ini sangat sesuai dengan sifat Allah swt. Yang Maha Esa dan Tunggal Dzat, Sifat, dan Af’al-Nya. Esa Dzat berarti tidak tersusun Dzat-Nya (kam muttashil) dan tidak ada dzat lain yang menyamai-Nya (kam munfashil). Tunggal sifat-Nya bermakna tidak ada dua sifat bagi-Nya (kam muttashil), misalnya: dua qudrah, iradah, ilmu, dan sifat-sifat lainnya. Juga Maha Tunggal Pemilik sifat-sifat itu, tidak ada yang memiliki sifat seperti-Nya. Sedang esa perbuatan-Nya berarti, hanya Dia Yang Menciptakan semua tingkah laku kehidupan dalam dunia ini. (Kifayatul Awam, 35)

ALLAH MAHA SATU?

Ada yang keberatan dengan paradigma ini. Menurutnya, Tuhan bukan satu seperti bilangan yang dapat dibagi dan diprosentase, serta bisa dibuat pecahan-pecahan dari beberapa bilangan. Dia Bukan Maha Satu yang bisa dipecah-pecah, tapi Dia Maha Nol. Yang tidak akan pernah mengalami satu-satuan kecil, dan tidak bisa terbagi. Bagaikan angka nol yang tidak bisa terbagi, terpecah, dan dikurangi lagi. Utuh. Bukan satu yang bisa dipahami tersusun dari gabungan-gabungan angka-angka pecahan desimal dari 0,1, 0,2, 0,3 dan seterusnya. Atau bisa dibuat pecahan biasa dari ½, 1/3, ¼, dan lainnya. Inilah argumentasi yang mereka bangun dan berusaha menafikan sifat “Maha Satu” bagi Allah swt.

BAGAIMANA PANDANGAN ULAMA?

Semua Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah bersepakat (ijmak) bahwa Allah swt boleh disifati dengan “Al-Fardu” dan “Al-Wahidu”. Hal ini berdasarkan beberapa dalil Quran dan hadis. Ada satu dari Muktazilah yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Yaitu Ibad bin Sulaiman ash-Shaimury, berpendapat tidak diperbolehkan mengucapkan sifat tersebut. Alasannya adalah; kata fardu itu berarti ganjil, yang membandingi genap. Sebagaimana bilangan ada yang ganjil dan ada yang genap. Dan Allah swt bukan ganjil, tapi tunggal. Namun hal ini disanggah oleh Imam az-Zabidi al-Murtadha, dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin 2/20, dengan beberapa hal berikut: (1) Ijmak ulama sebelum lahirnya Ibad bin Sulaiman, yang memperbolehkan penyebutan tersebut, (2) alasannya di atas tumbang dengan penyebutan sifat Allah sebagai Maha al-Wahidu, yang berarti “Satu”, padahal sifat ini juga membandingi: ats-Tsani (kedua), ats-Tsalits (ketiga), dst., (3) al-Fardu bermakna tidak terbagi dua, dan Allah swt itu tidak terbagi dua, tiga, dan bagian-bagian lainnya.

BAGAIMANA MENURUT PENULIS?

Dalam hal ini, kita harus berpegang kembali kepada kaidah umum dalam nama-nama Tuhan. Yaitu: Nama-nama Allah swt itu bersifat tauqify (bimbingan wahyu), tidak boleh ijtihad. Jika ada nama yang membingungkan (mutasyabih) dan ada dalilnya, maka diterima saja. Dan ini masuk dalam penangan ayat-ayat mustasyabihat yang ada perbedaan pandangan menurut ulama. Jadi, dari kerangka berpikir ini, dapat penulis simpulkan bahwa: Maha Tunggal dan Maha Satu adalah arti dari al-Fardu dan al-Wahidu. Secara bahasa, dari beberapa kamus Arab-Indonesia, kedua kata itu dimaknai dengan kedua makna tersebut. Sama dengan arti ‘bersemayam’ untuk ‘istiwa’. Dan kita memaknai istiwa’ dengan bersemayam. Sedang maksudnya, kembali pada dua kaidah penanganan ayat mutasyabihat. Artinya, kita boleh mengatakan: Allah Maha Satu, dan menyerahkan maksudnya pada Tuhan, atau memaksudkan satu yang berarti tunggal dan tidak ada teman sekutu bagi-Nya.

No comments:

Post a Comment