ALLAH MAHA ESA?
Esa  bermakna tunggal, sendirian yang tidak berteman, beristri, dan tidak ada  sekutu baginya. Tentunya makna ini sangat sesuai dengan sifat Allah  swt. Yang Maha Esa dan Tunggal Dzat, Sifat, dan Af’al-Nya. Esa Dzat  berarti tidak tersusun Dzat-Nya (kam muttashil) dan tidak ada dzat lain yang menyamai-Nya (kam munfashil). Tunggal sifat-Nya bermakna tidak ada dua sifat bagi-Nya (kam muttashil), misalnya: dua qudrah, iradah, ilmu,  dan sifat-sifat lainnya. Juga Maha Tunggal Pemilik sifat-sifat itu,  tidak ada yang memiliki sifat seperti-Nya. Sedang esa perbuatan-Nya  berarti, hanya Dia Yang Menciptakan semua tingkah laku kehidupan dalam  dunia ini. (Kifayatul Awam, 35)
ALLAH MAHA SATU?
Ada yang keberatan dengan paradigma ini.  Menurutnya, Tuhan bukan satu seperti bilangan yang dapat dibagi dan  diprosentase, serta bisa dibuat pecahan-pecahan dari beberapa bilangan.  Dia Bukan Maha Satu yang bisa dipecah-pecah, tapi Dia Maha Nol. Yang  tidak akan pernah mengalami satu-satuan kecil, dan tidak bisa terbagi.  Bagaikan angka nol yang tidak bisa terbagi, terpecah, dan dikurangi  lagi. Utuh. Bukan satu yang bisa dipahami tersusun dari  gabungan-gabungan angka-angka pecahan desimal dari 0,1, 0,2, 0,3 dan  seterusnya. Atau bisa dibuat pecahan biasa dari ½, 1/3, ¼, dan lainnya. Inilah argumentasi yang mereka bangun dan berusaha menafikan sifat “Maha Satu” bagi Allah swt.
BAGAIMANA PANDANGAN ULAMA?
Semua Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah bersepakat (ijmak) bahwa Allah swt boleh disifati dengan “Al-Fardu” dan “Al-Wahidu”. Hal  ini berdasarkan beberapa dalil Quran dan hadis. Ada satu dari  Muktazilah yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Yaitu Ibad bin  Sulaiman ash-Shaimury, berpendapat tidak diperbolehkan mengucapkan sifat  tersebut. Alasannya adalah; kata fardu itu berarti ganjil,  yang membandingi genap. Sebagaimana bilangan ada yang ganjil dan ada  yang genap. Dan Allah swt bukan ganjil, tapi tunggal. Namun hal ini  disanggah oleh Imam az-Zabidi al-Murtadha, dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin 2/20, dengan beberapa hal berikut: (1) Ijmak  ulama sebelum lahirnya Ibad bin Sulaiman, yang memperbolehkan  penyebutan tersebut, (2) alasannya di atas tumbang dengan penyebutan  sifat Allah sebagai Maha al-Wahidu, yang berarti “Satu”, padahal sifat ini juga membandingi: ats-Tsani (kedua), ats-Tsalits (ketiga), dst., (3) al-Fardu bermakna tidak terbagi dua, dan Allah swt itu tidak terbagi dua, tiga, dan bagian-bagian lainnya.
BAGAIMANA MENURUT PENULIS?
Dalam hal ini, kita harus berpegang kembali kepada kaidah umum dalam nama-nama Tuhan. Yaitu: Nama-nama Allah swt itu bersifat tauqify (bimbingan wahyu), tidak boleh ijtihad. Jika ada nama yang membingungkan (mutasyabih) dan ada dalilnya, maka diterima saja. Dan ini masuk dalam penangan ayat-ayat mustasyabihat yang  ada perbedaan pandangan menurut ulama. Jadi, dari kerangka berpikir  ini, dapat penulis simpulkan bahwa: Maha Tunggal dan Maha Satu adalah  arti dari al-Fardu dan al-Wahidu. Secara bahasa, dari  beberapa kamus Arab-Indonesia, kedua kata itu dimaknai dengan kedua  makna tersebut. Sama dengan arti ‘bersemayam’ untuk ‘istiwa’. Dan kita memaknai istiwa’ dengan bersemayam. Sedang maksudnya, kembali pada dua kaidah penanganan ayat mutasyabihat.  Artinya, kita boleh mengatakan: Allah Maha Satu, dan menyerahkan  maksudnya pada Tuhan, atau memaksudkan satu yang berarti tunggal dan  tidak ada teman sekutu bagi-Nya.
 
No comments:
Post a Comment