Kata sumber merupakan terjemahan dari lafadl المصدر , yang jama’nya المصادر yang mempunyai arti asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk sesuatu. Dan apabila dikaitkan dengan hukum Islam, hukum Islam maka akan menjadi مصادر الأحكام (sumber-sumber hukum Islam). Namun kata tersebut dalam kitab-kitab klasik yang dihasilkan oleh para ulama salaf, baik ulama-ulama fiqh maupun ulama ushul fiqh tidak pernah ditemukan, karena penggunaan kata sumber dalil dalam kajian hukum Islam, mereka selalu menggunakan istilah dalil-dalil syara’ ( (الأدلةالشرعية)
Abdul Wahab Khalaf dalam kitabnya ‘Ilm Ushul al-Fiqh menjelaskan tentang arti dalil, bahwa landasan berfikir yang bersifat qath’i disebut dalil, sedangkan yang bersifat dzhanni tidak dinamakan dalil. Bahwa ادلة الأحكام (dalil-dalil hukum) identik dengan اصول الأحكام (dasar-dasar hukum) danالأحكام مصادر (sumber-sumber hukum).
Menurut Wahbah al-Zuhaily, kata dalil memiliki pengertian suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam menentukan hukum syara’ yang bersifat praktis, baik statusnya qath’i maupun dzanni.
Jika dihubungkan dengan kata syari’at, kata مصادر dan ادلة akan mempunyai arti yang berbeda. Kata mashdar yang memiliki arti wadah, yang melalui wadah tersebut digali norma-norma hukum tertentu. Sedangkan kata dalil berarti petunjuk yang membawa kita menemukan hukum tertentu.
Apabila dilihat dari definisi di atas, menurut Satria Effendi bahwa sumber dalil ushul fiqh hanya dapat digunakan untuk al-Qur’an dan as-Sunnah saja, karena keduanya merupakan wadah yang dapat digali hukumnya dan tidak bagi ijma’ dan qiyas dan yang lainnya, karena sumber tersebut bukanlah wadah tetapi sudah merupakan metode untuk menemukan hukum.
Para ahli ilmu usul fikih sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas empat hal. yaitu Alquran, Sunnah, ijma, dan qiyas. Sumber hukum yang pertama dan kedua merupakan wahyu dari Allah yang tertulis. Sedangkan, sumber ketiga dan keempat tidak tertulis. Alquran menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum islam karena diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan masih terpelihara keasliannya. Allah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya. Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.” Surat Al-Hijr [15:9]
Keaslian Alquran ini juga terbukti dan periwayalan yang sama dan berulang-ulang oleh orang-orang yang tidak terbatas jumlahnya. Menurut Hassan Hanafi dalam bukunya Islamologi. hal ini menghindarkan kemungkinan adanya kesepakatan dusta antar mereka. Apalagi, mereka tidak sedang dalam ancaman.
Urutan periwayatan Alquran pertama kali terjadi antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Nabi SAW menghafal dan membacakan Alquran itu di depan Jibril.Kemudian, Nabi SAW membacakannya di depan para sahabat dan mereka pun menghafalnya. Lalu, tradisi penghalalan ini dilanjutkan oleh para tabiin hingga sekarang ini.
Al qur’an berfungsi sebagai petunjuk
Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi dalam Fiqih Manajerialnya mengatakan, Al qur’an menamakan dirinya sebagai petunjuk ( hudan) yang menempatkan manusia dan persoalan hidupnya sebagai tema sentral. Bagaimana tidak?, manusia adalah khalifah Allah dibumi. Fazlurrahman berkata, bahwa ungkapan Hudan linnaas dan hudan lil muttaqiin adalah bukti bahwa Al qur’an menawarkan dirinya secara fungsional untuk memimpin manusia secara moral ke arah jalan yang lurus dan benar.
Lalu dimana kita mendapatkan petunjuk Al Qur’an itu ? . berbicara petunjuk, sama seperti kita melihat arah petunjuk. Misalnya anda melihat arah (petunjuk) –> bertuliskan 5 Km ke UI atau UIN atau UIJ. Apakah anda akan mencari UI, UIN atau UIJ disekitar petunjuk itu atau bahkan dipetunjuk itu? Pasti anda tidak akan menemukan sesuatu yang ditunjuk oleh petunjuk itu. Anda harus mencarinya diluar petunjuk itu, baru anda aka menemukannya. Begitu pula anda memahami Al Qur’an sebagai petunjuk, boleh jadi petunjuknya ada diluar teks yang anda baca itu, karena ada teks, ada pula konteks dan ada interteks yang harus dibangun bersama untuk mencapai pemahaman yang diinginkan Al Qur’an.
Posisi kedua setelah Alquran adalah sunah. Cakupan sunah lebih luas dari hadis. Menurut Muhammad Abu Zahrah. dalam bukunya Ushul Fqih. sunah meliputi ucapan, tindakan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Abu Zahrah memberikan contoh dari ketiga macam sunah itu. Sunah ucapan, misalnya, terdapat dalam sabda beliau. “Barang siapa tidur hingga meninggalkan shalat atau lupa, kerjakanlah shalat (yang ditinggalkan itu) ketika ingat.” Contoh sunah tindakan adalah perintah beliau. “Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat.” Dan contoh dari sunah yang berupa ketetapan adalah sabda Nabi SAW. “Belajarlah dariku. manasik haji kalian.”
Ketiga macam sunah itu berfungsi sebagai penopang dan penyempurna Alquran dalam menjelaskan hukum-hukum syariat. Menurut Imam Syafi’i, seperti dikutip oleh Abu Zahrah. Alquran dan sunah harus tidak dibedakan untuk kepentingan penentuan hukum syari. Keduanya saling mendukung dalam menjelaskan syariat.
Sumber hukum ketiga adalah ijma. Hasan Hanafi mengungkapkan, ijma disahkan menjadi dasar hukum syariah karena juga termasuk wahyu Allah. Menurutnya, wahyu terdiri atas tingkatan- tingkatan, wahyu langsung dan Allah, yaitu Alquran, wahyu berupa penjelasan detail dari Rasulullah berdasarkan bimbingan Allah, yaitu sunah, wahyu yang diturunkan kepada umat sehingga mereka bersepakat pada suatu masalah, yaitu ijma dan wahyu yang diturunkan kepada akal sesuai dengan Alquran, sunah, dan ijma.
Pendapat Hassan Hanafi itu menemukan relevansinya dengan hadis Nabi SAW. “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.” Lantas, siapa yang pendapatnya masuk dalam kategori ijma Tidak semua orang bisa masuk dalam ketentuan ijma. Ijmak dianggap sah apabila disepakati oleh para mujtahid yang dikenal ahli dalam ilmu agama, jujur, tidak fasik dan ahli bidah,tidak gila, dan sebagainya.
Sumber syanat yang terakhir adalah qiyas. Qiyas disebut Al-Ghazali sebagai dalil akal. Menurut para ahli usul fikih, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada dasar hukum dan Alquran dan sunah (nash) dengan sesuatu yang ada dasar hukum dari nash.
Salah satu contohnya adalah pengharaman arak (khamar). Alasan pengharaman arak terletak pada sifatnya yang memabukkan. Alasan inilah yang menjadi qiyas bagi minuman minuman selain arak yang juga memabukkan. Oleh karena itu. disepakati oleh para mujtahid bahwa semua minuman yang memabukkan hukumnya haram.
Akan tetapi, karena qiyas ini hasil dari kerja akal, tidak semua ulama sepakat menjadikannya dasar hukum syariat. Ulama Muktazilah, dan tokoh Mazhab Zhahiri. Ibnu Hazm. secara tegas menolak qiyas. Karena, menurut mereka, penerapan qiyas berarti mengingkari kesempurnaan Alquran dan hadis yang sudah mencakup berbagai macam persoalan.
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik