Ada kitab penting syiah yang hilang. Mengapa bisa hilang ? Kitab apa yang hilang? Bagaimana bisa hilang? Apa yang terjadi di balik semua ini ? Mengapa sebuah mazhab bisa kehilangan kitab referensi utama? Kajian menarik bagi yang ingin mengetahui hakekat mazhab syiah.
Saya yakin tidak ada syiah di Indonesia yang mengetahui hal ini, meskipun dia ustadz lulusan Qum,
Seperti yang sering kita dengar, konon mazhab syiah adalah mazhab yang otentik dan asli, asli dari Nabi dan ahlulbait. Mazhab ini terpelihara turun temurun, dengan adanya ulama syiah yang selalu menjaga keaslian mazhabnya.
Yang kita tahu saat ini, dan selalu dinyatakan oleh syiah, ada 4 kitab utama literatur hadits syiah. Yaitu Al Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzibul Ahkam, dan Al Istibshar. Empat kitab ini yang dianggap sebagai literatur utama mazhab syiah. Tetapi ternyata tidak hanya empat, ada lagi satu kitab yaitu kitab madinatul ilmi, disusun oleh Ibnu Babawaih Al Qummi, yang juga dijuluki As Shaduq. Kitab ini terdiri dari 10 jilid, jauh lebih besar daripada kitab man la yahdhuruhul faqih.
Seperti biasanya, kawan-kawan syiah akan menuduh bahwa informasi ini adalah kebohongan bani umayah. Sudah sering saya dituduh sebagai antek Bani Umayah. Saya bukan Bani Umayah, saya adalah keturunan Adam, jadi saya termasuk Bani Adam, bukan Bani Umayah. Sumber artikel saya selalu dari kitab syiah sendiri, bukan dari kitab yang ditulis oleh Bani Umayah.
Ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, -wafat tahun 984 H=991 M -, menganggap kitab Madinatul Ilmi sebagai sumber utama kedua, setelah Al Kafi tentunya. Dalam kitab wushulul akhyar ila ushulil akhbar hal 85, walid mengatakan:
Dan lima kitab ushul (mazhab) kami, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La yahdhuruul faqih, At Tahdzib dan Al Istibshar, telah memuat kebanyakan hadits yang diriwayatkan dari Nabi dan para Imam maksum, semua itu ada pada kami….
Begitu juga Agha Barzak Tahrani, dia mengatakan Dalam kitab Ad Dzari’ah jilid 20 hal 251-253:
2830 : Kitab Madinatul Ilmi, karya syaikh As Shaduq, Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Al Qummi, wafat tahun 381 H, merupakan kitab kelima dari empat kitab yang menjadi kitab utama syiah imamiyah 12 imam. Syaikh Husein bin Abdus Shamad Al Haritsi mengatakan dalam kitab Dirayah : kitab utama kita ada lima, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzib dan Istibshar. Bahkan kitab itu [madinatul ilmi] lebih besar daripada Man La Yahdhuruhul Faqih, seperti dinyatakan oleh Syaikh At Thaifah dalam Al Fahrasat, begitu juga oleh Syaikh Muntajabuddin dalam Fahrasnya. Ibnu Syahr Asyub mengatakan dalam Ma’alimul Ulama, bahwa kitab Madinatul Ilmi terdiri dari 10 jilid, sedangkan Man La Yahdhuruhul Faqih hanya 4 jilid.
Sungguh sayang, nikmat yang besar ini hilang dari peredaran sejak jaman Al Baha’I, yang nampak jelas dalam ucapannya menyatakan bahwa buku itu ada padanya, atau ada pada jamannya, dan kitab itu hilang sampai hari ini. Bahkan Allamah Al Majlisi rela mengeluarkan banyak uang untuk mencarinya, tetapi tidak berhasil mendapatkannya, begitu juga dari generasi sesudahnya, seorang ulama yang namanya sama dengan Al Majlisi, yaitu Hujjatul Islam As Syafati, Sayyid Muhammad Baqir Al Jilani Al Ashfahani, mengeluarkan banyak uang tetapi tetap tidak menemukannya.
Hilangnya referensi penting ini juga ditegaskan oleh Penulis kitab Ar Rasa’il Ar Rijaliyah, Abul Ma’ali Muhammad bin Muhammad Ibrahim Al Kalbasi. Pada jilid 2 hal 487, Abul Ma’ali menyatakan:
Kami memiliki kitab Madinatul Ilmi, yang lebih besar daripada kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, Seperti disebutkan oleh Al Baha’I, dan ayahnya menyebutkan dalam Ad Dirayah bahwa referensi utama kami ada lima, yaitu kitab empat, dan kitab Madinatul Ilmi, tapi kami tidak pernah melihatnya, mungkin mereka memiliki kitab itu, tapi kitab itu hilang bersama banyak kitab mereka yang lain. Ayahnya sering menyebutkan bahwa dia memiliki seribu judul kitab, setelah wafatnya, yang ditemukan hanya 700 judul.
Ibnu Thawus, wafat tahun 664 H, Allamah Al Hilli, wafat tahun 726 H dan Syahid Al Awwal, yang wafat tahun 786, semuanya pernah menukil dari kitab penting ini, yaitu kitab Madinatul Ilmi.
Madinatul Ilmi artinya kota ilmu, yang dimaksud di sini adalah Nabi SAWW. Artinya kitab ini memuat banyak hadits-hadits Nabi. Hingga tidak heran kitab ini dianggap penting oleh para ulama syiah, dan disejajarkan dengan empat kitab utama syiah. Sebenarnya kitab utama syiah adalah lima, ditambah kitab Madinatul Ilmi, tetapi kitab madinatul Ilmi hilang tiba-tiba tanpa bekas, dan orang terakhir yang menyebutnya adalah ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, yang wafat tahun 984 H.
Mengapa kitab penting ini bisa hilang?
Al Khu’I, ulama syiah yang tidak diragukan lagi kompetensinya, memberitahu kita tentang ihwal kitab Madinatul Ilmi, dalam kitab Thaharah jilid 7 hal 452:
Yang meriwayatkan dari As Shaduq adalah As Syahid, dalam mengingatkan apa yang ada di Al Wasa’il, dan As Syahid adalah seorang tsiqah, riwayat itu terdapat juga dalam kitab Madinatul Ilmi, meskipun kitab ini tidak lagi bisa kita temukan di jaman kita, karena telah dicuri, tetapi As Syahid, seperti nampak dalam riwayatnya, menukil dari kitab itu, dan jalan periwayatannya dari ktiab itu adalah bisa diterima, seperti nampak ketika kita melihat kembali jalur periwayatannya, dengan ini maka riwayat ini bersambung, tidak bisa dibilang putus. Sampai di sini dari Al Khu’i.
Bagaimana sebuah kitab yang tersebar selama ratusan tahun, yaitu sejak sebelum tahun 380 H, sampai pada tahun 984 H, bisa hilang dicuri orang. Mestinya kitab penting seperti Madinatul Ilmi, sebagaimana kitab-kitab penting lainnya, tersebar luas ke seluruh negeri-negeri syiah, dimiliki oleh ulama-ulama syiah yang jumlahnya banyak. Artinya tidak hanya ada 5 atau 10 copy saja, tapi ada ratusan copy. Lagipula, jangka waktu antara wafatnya penulis, dan orang terakhir yang melaporkan memiliki kitab itu sangatlah panjang, yaitu lebih dari 500 tahun. Artinya kitab ini tersebar ke penjuru dunia syiah, dijadikan rujukan oleh banyak ulama syiah, bahkan menjadi rujukan utama, sama seperti kitab empat yang tersisa sampai hari ini.
Yang membuat heran, bagaimana seseorang, atau sekelompok orang, bisa mencuri kitab inti sebuah mazhab. Bagaimana sebuah mazhab bisa dikatakan otentik ketika kitab penting ada yang hilang. Ditambah lagi, yang hilang adalah 10 jilid kitab, yang berisi banyak sekali hadits-hadits Nabi dan ahlulbait.
Sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab Madinatul Ilmi telah hilang. Ini dinyatakannya dalam kitab Manazilul Akhirah, jilid 1 hal 190 :
Dan doa dalam (kitab) Falah As Sa’il, yang ditulis oleh Ibnu Thawus, hal 85, dari kitab Madinatul Ilmi, yang ditulis oleh Syaikh As Shaduq, salah satu kitab penting, setara dengan kitab Tahdzib dan Man La Yahdhuruhul Faqih, kitab itu telah hilang.
Al Khu’I mengatakan kitab itu dicuri, sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab itu hilang. Ada perbedaan antara dicuri dan hilang. Dicuri, berarti ada sekelompok orang yang sengaja mencuri kitab itu. Sementara hilang, adalah ketika kitab itu tidak ditemukan dalam tempat yang semestinya ada, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Bisa jadi hilang di pasar, terjatuh dari onta, atau bisa juga hilang karena dicuri. Jadi antara Al Khu’I dan Abbas Al Qummi tidak ada perbedaan penting, Al Khu’I berani berterus terang tentang adanya peristiwa pencurian, sementara Al Qummi hanya mengatakan kitab itu hilang, tanpa menjelaskan sebabnya lebih detil.
Jika kitab itu dicuri, bagaimana bisa mencuri kitab yang sudah tersebar selama 500 tahun lebih, dan tersebar di penjuru dunia syiah, sudah disalin ratusan copy, bahkan bisa jadi ribuan copy, apakah mungkin semuanya dicuri? Lalu siapa yang mencuri? Siapa pun pencurinya, yang jelas dia adalah orang hebat, dan tidak mungkin bekerja sendirian, bagaimana bisa dia mencuri seluruh copy kitab yang ada di muka bumi, hingga akhirnya kitab itu hilang.
Jika kitab itu dibilang hilang, kita bertanya, di mana hilangnya? Kapan hilangnya? Kapan kitab itu dicuri? Kitab itu hilang –atau menurut Al Khui, dicuri- pada abad 10 Hijriyah, jauh setelah dinasti Bani Umayah runtuh, jadi tidak ada alasan lagi untuk mencurigai Bani Umayah dalam peristiwa ini.
Ada kemungkinan lain lagi, yaitu kitab yang ada pada ayah Al Baha’I adalah satu-satunya kitab yang ada, artinya kitab syiah tidak tersebar secara mutawatir, maksudnya tidak tersebar meluas, hanya khusus dipegang beberapa orang saja. Ini menandakan bahwa kitab-kitab syiah tidak tersebar, artinya bisa saja orang mengedit isi kitab, dan mengatakan kitab ini adalah asli. Ketika sebuah kitab tidak tersebar luas, orang tidak bisa membandingkan copy kitab dengan copy lain dari kitab yang sama, sehingga sangat mudah untuk memalsu kitab syiah. Juga sama mudahnya untuk menghilangkan sebuah kitab, karena orang lain tidak tahu keberadaan kitab itu. Bisa jadi orang menulis sendiri sebuah kitab, lalu mengatakan bahwa kitab ini adalah karya Imam Ali Zainal Abidin, atau karya siapa pun.
Kemungkinan berikutnya, yaitu ada kekuatan besar, yang tidak menginginkan kitab itu beredar luas. Dalam hal ini jika kita membaca kabar terakhir kitab itu ditemukan, yaitu sekitar tahun 980 H, ternyata masa itu adalah masa kekuatan dinasti shafavid di iran, di mana saat itu mazhab syiah imamiyah berkembang pesat, hingga merubah Iran yang dulunya mayoritas sunni, menjadi negara syiah seperti kita saksikan bersama. Pekerjaan melenyapkan sebuah kitab yang berumur 500 tahun lebih, bukanlah pekerjaan mudah.
Perlu diketahui, dinasti shafavid berkuasa di Iran antara tahun 1501 M = 906 H, sampai sekitar tahun 1736 M= 1148 H.
Jangan-jangan masih banyak lagi kitab yang dilenyapkan, tanpa ketahuan oleh ulama syiah lainnya. Jangan-jangan kitab syiah saat itu tidak pernah tersebar luas di kalangan ulama, jadi bebas diedit oleh siapa pun, tanpa takut ketahuan orang banyak. Orang bebas menulis kitab lalu mengatakan kitab ini adalah karangan Kulaini, Al Qummi atau siapa pun juga.
Orang sesat dapat dengan mudah menulis buku, lalu mencatut nama ulama terkenal yang sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Akhirnya masyarakat mengira bahwa kitab itu adalah karya si ulama terkenal, padahal isinya adalah ajaran sesat, yang mencatut ulama terkenal.
Akhirnya, hari ini kita tidak tahu mana ajaran syiah yang asli, mana ajaran syiah hasil editan, atau hasil karangan orang yang tidak jelas.
Saya yakin tidak ada syiah di Indonesia yang mengetahui hal ini, meskipun dia ustadz lulusan Qum,
Seperti yang sering kita dengar, konon mazhab syiah adalah mazhab yang otentik dan asli, asli dari Nabi dan ahlulbait. Mazhab ini terpelihara turun temurun, dengan adanya ulama syiah yang selalu menjaga keaslian mazhabnya.
Yang kita tahu saat ini, dan selalu dinyatakan oleh syiah, ada 4 kitab utama literatur hadits syiah. Yaitu Al Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzibul Ahkam, dan Al Istibshar. Empat kitab ini yang dianggap sebagai literatur utama mazhab syiah. Tetapi ternyata tidak hanya empat, ada lagi satu kitab yaitu kitab madinatul ilmi, disusun oleh Ibnu Babawaih Al Qummi, yang juga dijuluki As Shaduq. Kitab ini terdiri dari 10 jilid, jauh lebih besar daripada kitab man la yahdhuruhul faqih.
Seperti biasanya, kawan-kawan syiah akan menuduh bahwa informasi ini adalah kebohongan bani umayah. Sudah sering saya dituduh sebagai antek Bani Umayah. Saya bukan Bani Umayah, saya adalah keturunan Adam, jadi saya termasuk Bani Adam, bukan Bani Umayah. Sumber artikel saya selalu dari kitab syiah sendiri, bukan dari kitab yang ditulis oleh Bani Umayah.
Ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, -wafat tahun 984 H=991 M -, menganggap kitab Madinatul Ilmi sebagai sumber utama kedua, setelah Al Kafi tentunya. Dalam kitab wushulul akhyar ila ushulil akhbar hal 85, walid mengatakan:
Dan lima kitab ushul (mazhab) kami, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La yahdhuruul faqih, At Tahdzib dan Al Istibshar, telah memuat kebanyakan hadits yang diriwayatkan dari Nabi dan para Imam maksum, semua itu ada pada kami….
Begitu juga Agha Barzak Tahrani, dia mengatakan Dalam kitab Ad Dzari’ah jilid 20 hal 251-253:
2830 : Kitab Madinatul Ilmi, karya syaikh As Shaduq, Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein bin Musa bin Babawaih Al Qummi, wafat tahun 381 H, merupakan kitab kelima dari empat kitab yang menjadi kitab utama syiah imamiyah 12 imam. Syaikh Husein bin Abdus Shamad Al Haritsi mengatakan dalam kitab Dirayah : kitab utama kita ada lima, yaitu Al Kafi, Madinatul Ilmi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzib dan Istibshar. Bahkan kitab itu [madinatul ilmi] lebih besar daripada Man La Yahdhuruhul Faqih, seperti dinyatakan oleh Syaikh At Thaifah dalam Al Fahrasat, begitu juga oleh Syaikh Muntajabuddin dalam Fahrasnya. Ibnu Syahr Asyub mengatakan dalam Ma’alimul Ulama, bahwa kitab Madinatul Ilmi terdiri dari 10 jilid, sedangkan Man La Yahdhuruhul Faqih hanya 4 jilid.
Sungguh sayang, nikmat yang besar ini hilang dari peredaran sejak jaman Al Baha’I, yang nampak jelas dalam ucapannya menyatakan bahwa buku itu ada padanya, atau ada pada jamannya, dan kitab itu hilang sampai hari ini. Bahkan Allamah Al Majlisi rela mengeluarkan banyak uang untuk mencarinya, tetapi tidak berhasil mendapatkannya, begitu juga dari generasi sesudahnya, seorang ulama yang namanya sama dengan Al Majlisi, yaitu Hujjatul Islam As Syafati, Sayyid Muhammad Baqir Al Jilani Al Ashfahani, mengeluarkan banyak uang tetapi tetap tidak menemukannya.
Hilangnya referensi penting ini juga ditegaskan oleh Penulis kitab Ar Rasa’il Ar Rijaliyah, Abul Ma’ali Muhammad bin Muhammad Ibrahim Al Kalbasi. Pada jilid 2 hal 487, Abul Ma’ali menyatakan:
Kami memiliki kitab Madinatul Ilmi, yang lebih besar daripada kitab Man La Yahdhuruhul Faqih, Seperti disebutkan oleh Al Baha’I, dan ayahnya menyebutkan dalam Ad Dirayah bahwa referensi utama kami ada lima, yaitu kitab empat, dan kitab Madinatul Ilmi, tapi kami tidak pernah melihatnya, mungkin mereka memiliki kitab itu, tapi kitab itu hilang bersama banyak kitab mereka yang lain. Ayahnya sering menyebutkan bahwa dia memiliki seribu judul kitab, setelah wafatnya, yang ditemukan hanya 700 judul.
Ibnu Thawus, wafat tahun 664 H, Allamah Al Hilli, wafat tahun 726 H dan Syahid Al Awwal, yang wafat tahun 786, semuanya pernah menukil dari kitab penting ini, yaitu kitab Madinatul Ilmi.
Madinatul Ilmi artinya kota ilmu, yang dimaksud di sini adalah Nabi SAWW. Artinya kitab ini memuat banyak hadits-hadits Nabi. Hingga tidak heran kitab ini dianggap penting oleh para ulama syiah, dan disejajarkan dengan empat kitab utama syiah. Sebenarnya kitab utama syiah adalah lima, ditambah kitab Madinatul Ilmi, tetapi kitab madinatul Ilmi hilang tiba-tiba tanpa bekas, dan orang terakhir yang menyebutnya adalah ayah dari Syaikh Al Baha’I Al Amili, yang wafat tahun 984 H.
Mengapa kitab penting ini bisa hilang?
Al Khu’I, ulama syiah yang tidak diragukan lagi kompetensinya, memberitahu kita tentang ihwal kitab Madinatul Ilmi, dalam kitab Thaharah jilid 7 hal 452:
Yang meriwayatkan dari As Shaduq adalah As Syahid, dalam mengingatkan apa yang ada di Al Wasa’il, dan As Syahid adalah seorang tsiqah, riwayat itu terdapat juga dalam kitab Madinatul Ilmi, meskipun kitab ini tidak lagi bisa kita temukan di jaman kita, karena telah dicuri, tetapi As Syahid, seperti nampak dalam riwayatnya, menukil dari kitab itu, dan jalan periwayatannya dari ktiab itu adalah bisa diterima, seperti nampak ketika kita melihat kembali jalur periwayatannya, dengan ini maka riwayat ini bersambung, tidak bisa dibilang putus. Sampai di sini dari Al Khu’i.
Bagaimana sebuah kitab yang tersebar selama ratusan tahun, yaitu sejak sebelum tahun 380 H, sampai pada tahun 984 H, bisa hilang dicuri orang. Mestinya kitab penting seperti Madinatul Ilmi, sebagaimana kitab-kitab penting lainnya, tersebar luas ke seluruh negeri-negeri syiah, dimiliki oleh ulama-ulama syiah yang jumlahnya banyak. Artinya tidak hanya ada 5 atau 10 copy saja, tapi ada ratusan copy. Lagipula, jangka waktu antara wafatnya penulis, dan orang terakhir yang melaporkan memiliki kitab itu sangatlah panjang, yaitu lebih dari 500 tahun. Artinya kitab ini tersebar ke penjuru dunia syiah, dijadikan rujukan oleh banyak ulama syiah, bahkan menjadi rujukan utama, sama seperti kitab empat yang tersisa sampai hari ini.
Yang membuat heran, bagaimana seseorang, atau sekelompok orang, bisa mencuri kitab inti sebuah mazhab. Bagaimana sebuah mazhab bisa dikatakan otentik ketika kitab penting ada yang hilang. Ditambah lagi, yang hilang adalah 10 jilid kitab, yang berisi banyak sekali hadits-hadits Nabi dan ahlulbait.
Sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab Madinatul Ilmi telah hilang. Ini dinyatakannya dalam kitab Manazilul Akhirah, jilid 1 hal 190 :
Dan doa dalam (kitab) Falah As Sa’il, yang ditulis oleh Ibnu Thawus, hal 85, dari kitab Madinatul Ilmi, yang ditulis oleh Syaikh As Shaduq, salah satu kitab penting, setara dengan kitab Tahdzib dan Man La Yahdhuruhul Faqih, kitab itu telah hilang.
Al Khu’I mengatakan kitab itu dicuri, sementara menurut Abbas Al Qummi, kitab itu hilang. Ada perbedaan antara dicuri dan hilang. Dicuri, berarti ada sekelompok orang yang sengaja mencuri kitab itu. Sementara hilang, adalah ketika kitab itu tidak ditemukan dalam tempat yang semestinya ada, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Bisa jadi hilang di pasar, terjatuh dari onta, atau bisa juga hilang karena dicuri. Jadi antara Al Khu’I dan Abbas Al Qummi tidak ada perbedaan penting, Al Khu’I berani berterus terang tentang adanya peristiwa pencurian, sementara Al Qummi hanya mengatakan kitab itu hilang, tanpa menjelaskan sebabnya lebih detil.
Jika kitab itu dicuri, bagaimana bisa mencuri kitab yang sudah tersebar selama 500 tahun lebih, dan tersebar di penjuru dunia syiah, sudah disalin ratusan copy, bahkan bisa jadi ribuan copy, apakah mungkin semuanya dicuri? Lalu siapa yang mencuri? Siapa pun pencurinya, yang jelas dia adalah orang hebat, dan tidak mungkin bekerja sendirian, bagaimana bisa dia mencuri seluruh copy kitab yang ada di muka bumi, hingga akhirnya kitab itu hilang.
Jika kitab itu dibilang hilang, kita bertanya, di mana hilangnya? Kapan hilangnya? Kapan kitab itu dicuri? Kitab itu hilang –atau menurut Al Khui, dicuri- pada abad 10 Hijriyah, jauh setelah dinasti Bani Umayah runtuh, jadi tidak ada alasan lagi untuk mencurigai Bani Umayah dalam peristiwa ini.
Ada kemungkinan lain lagi, yaitu kitab yang ada pada ayah Al Baha’I adalah satu-satunya kitab yang ada, artinya kitab syiah tidak tersebar secara mutawatir, maksudnya tidak tersebar meluas, hanya khusus dipegang beberapa orang saja. Ini menandakan bahwa kitab-kitab syiah tidak tersebar, artinya bisa saja orang mengedit isi kitab, dan mengatakan kitab ini adalah asli. Ketika sebuah kitab tidak tersebar luas, orang tidak bisa membandingkan copy kitab dengan copy lain dari kitab yang sama, sehingga sangat mudah untuk memalsu kitab syiah. Juga sama mudahnya untuk menghilangkan sebuah kitab, karena orang lain tidak tahu keberadaan kitab itu. Bisa jadi orang menulis sendiri sebuah kitab, lalu mengatakan bahwa kitab ini adalah karya Imam Ali Zainal Abidin, atau karya siapa pun.
Kemungkinan berikutnya, yaitu ada kekuatan besar, yang tidak menginginkan kitab itu beredar luas. Dalam hal ini jika kita membaca kabar terakhir kitab itu ditemukan, yaitu sekitar tahun 980 H, ternyata masa itu adalah masa kekuatan dinasti shafavid di iran, di mana saat itu mazhab syiah imamiyah berkembang pesat, hingga merubah Iran yang dulunya mayoritas sunni, menjadi negara syiah seperti kita saksikan bersama. Pekerjaan melenyapkan sebuah kitab yang berumur 500 tahun lebih, bukanlah pekerjaan mudah.
Perlu diketahui, dinasti shafavid berkuasa di Iran antara tahun 1501 M = 906 H, sampai sekitar tahun 1736 M= 1148 H.
Jangan-jangan masih banyak lagi kitab yang dilenyapkan, tanpa ketahuan oleh ulama syiah lainnya. Jangan-jangan kitab syiah saat itu tidak pernah tersebar luas di kalangan ulama, jadi bebas diedit oleh siapa pun, tanpa takut ketahuan orang banyak. Orang bebas menulis kitab lalu mengatakan kitab ini adalah karangan Kulaini, Al Qummi atau siapa pun juga.
Orang sesat dapat dengan mudah menulis buku, lalu mencatut nama ulama terkenal yang sudah wafat ratusan tahun yang lalu. Akhirnya masyarakat mengira bahwa kitab itu adalah karya si ulama terkenal, padahal isinya adalah ajaran sesat, yang mencatut ulama terkenal.
Akhirnya, hari ini kita tidak tahu mana ajaran syiah yang asli, mana ajaran syiah hasil editan, atau hasil karangan orang yang tidak jelas.
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik