Islamic Defenders
- Dahulu di kota Makkah, terdapat seorang pemuda terhormat di kalangan
suku Quraisy. Ia terkenal dengan harta kekayaan yang melimpah, mempunyai
usaha perniagaan, dan terkenal sebagai pemuda jujur serta memegang
amanat. Pemuda itu ialah Abul ‘Ash bin Rabi’.
Melihat kemuliaan pemuda ini, kekasih Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Khadijah binti Khuwailid berkeinginan menjodohkan putrinya, Zainab, dengan pemuda ini. Nabi Muhammad pun menyetujui keinginan istrinya tersebut. Apalagi, Abul ‘Ash bukan termasuk orang asing di sisi Nabi. Moyang Abul’ Ash bertemu dengan moyang Nabi pada Abdu Manaf. Demikian pula, garis darah Abul Ash dari jalur ibu bertemu dengan garis darah Zainab dari jalur ibu (Khadijah) pada Khuwailid.
Pernikahan pun dilangsungkan. Di hari yang indah itu, Khadijah memberikan kalung miliknya sebagai hadiah bagi putri terncintanya itu. Maka, Zainab pun berpindah tangan. Ia meninggalkan rumah ibu dan ayahnya menuju naungan dan belaian Abul Ash bin Rabi’ untuk membangun maligai rumah tangga bersamanya. Ketika itu, sesungguhnya Abul Ash belum memeluk Islam. Sementara itu, Allah belum mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir.
Bahtera pun Mulai Berguncang
Waktu pun terus berlalu, cahaya Islam mulai merasuk di hati penduduk Mekkah.
Namun sungguh sayang, Abul ‘Ash bin Rabi’ masih enggan menerima hidayah Islam yang telah dipeluk istri tercintanya itu. Ia masih belum bisa meninggalkan agama nenek moyangnya yang telah mengakar kuat di hatinya walaupun di sisi hatinya yang lain, ia masih sangat mencintai Zainab dengan kecintaan yang murni.
Zainab, dengan segala keinginan yang kuat, berupaya merayu suaminya agar menerima hidayah Islam. Ia berupaya sebaik mungkin menerangkan agama yang dibawa ayahnya kepada suaminya itu dengan tenang dan penuh pengharapan. Dipilihnya kata-kata yang halus dan wajah yang lembut untuk menarik hati Abul Ash. Ia juga berusaha sekuat mungkin memilih untaian lisan yang indah dan tutur kata yang santun untuk meluluhkan hati sang suami tercinta.
Namun, tidaklah ada yang bisa membalik hati manusia selain pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah. Zainab sangat bersedih karena laki-laki yang dicintainya itu sama sekali tidak terketuk hatinya. Abul Ash hanya diam, dan tidak menanggapi seruan istrinya dengan jawaban yang memuaskan. Seolah-olah, suara hati sang istri tidaklah demikian penting dan berarti dalam hidupnya.
Ketika permusuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dengan orang-orang kafir Quraisy semakin memuncak, orang-orang kafir tersebut mendorong para laki-laki yang mempunyai istri mukminah agar menceraikannya. Benarlah, dua belahan hati Nabi kita yang mulia, Ruqayyah dan Ummu Kultsum telah dicerai suaminya, lalu diantarkan ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa bahagianya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima kembali kedua putrinya. Justru kekhawatiranlah yang melanda bila keduanya masih hidup bersama laki-laki musyrik.
Kaum kafir Quraisy sebenarnya juga mendorong Abul ‘Ash agar mencerai Zainab. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Hai Abul ‘Ash! Cerailah istrimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia mengawinkanmu dengan siapa saja yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang cantik-cantik!”
Akan tetapi, ternyata cintanya terlanjur begitu dalam kepada Zainab. Baginya, tidak ada wanita Arab yang mampu menandingi kekasih tercintanya tersebut. Oleh karena itu, Abul ‘Ash menjawab seruan orang kafir tadi, “Tidak! Aku tidak akan mencerainya. Aku tidak akan menggantinya dengan wanita manapun di seluruh dunia ini.”
Pada dasarnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin seandainya Abul ‘Ash mencerai Zainab. Namun, apa kuasa beliau? Saat itu, Allah belum mengharamkan perkawinan wanita mukminah dengan pria musyrik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhak memaksa Abul ‘Ash untuk mencerai istrinya.
Ketika terjadi perang Badr, Abul ‘Ash ikut berada dalam barisan kaum musyrikin. Apa boleh buat, sekiranya ia tidak berkenan memerangi mertuanya, ia tinggal bersama musyrikin tersebut di Makkah. Itulah yang memaksanya ikut dalam barisan musuh-musuh Allah.
Maka, perang pun terjadi dengan membawa hasil berupa kekalahan telak, kehinaan, dan rasa malu yang menimpa kaum kafir Quraisy. Di antara mereka, ada yang tewas terbunuh di tangan kaum muslimin. Ada yang tertawan dan ada pula yang berhasil meloloskan diri. Adapun Abul ‘Ash, ia termasuk kelompok yang tertawan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan uang tebusan yang harus dibayar bagi setiap tawanan yang ingin bebas. Tebusan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan, sebesar kedudukan dan kekayaan tawanan tersebut di kaumnya, antara seribu hingga empat ribu dirham. Maka, berdatanganlah para utusan dari Makkah dengan membawa uang untuk menebus karib kerabat mereka yang tertawan.
Rasulullah pun Turut Bersedih
Zainab, belahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang begitu dalam cintanya kepada suaminya turut pula mengirim utusan untuk menebus Abul ‘Ash bin Rabi’. Di antara uang tebusan itu, terdapat sebuah kalung Zainab yang merupakan pemberian ibundanya, Khadijah binti Khuwailid, sebagai hadiah di hari pernikahan Zainab dengan Abul ‘Ash.
Ketika Nabi kita yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kalung tersebut, tersentuhlah hati beliau. Wajah beliau berubah menjadi sedih dengan kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak? Kalung yang beliau lihat dulunya adalah milik istri pertamanya yang selalu mendampingi beliau dalam keadaan susah dan senang. Wanita mana yang mampu menandingi kesetiaan Khadijah di kala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dicaci-maki orang-orang kafir. Khadijahlah yang menyelimuti nabi dan menenangkan beliau ketika turun wahyu pertama kali. Dari wanita mulia inilah Nabi memperoleh anak. Maka, wajarlah jikalau muncul perasaan rindu di hati beliau.
Di sisi lain, kalung yang beliau lihat adalah kepunyaan putri yang sangat beliau sayangi. Maka, hati mana yang tidak tersentuh, apalagi dari seorang ayah kepada putri yang terpisah darinya? Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para shahabatnya,
«إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِي لَهَا»
“(Harta ini dikirimkan Zainab untuk menebus suaminya, Abul ‘Ash). Sekiranya tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali padanya.” (HR. Al-Hakim no. 4306, hadits shahih menurut syarat imam Muslim)
Para shahabat Nabi yang mulia serta merta menyahut seruan beliau dengan berkata, “Baik ya Rasulullah! Kami setuju.”
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun akhirnya membebaskan Abul ‘Ash ibn Rabi’ dengan memberi syarat agar ia segera mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setibanya di Makkah.
Benar, setibanya di Makkah, Abul ‘Ash segera memenuhi janji ayah kekasih tercintanya itu. Ia memerintah Zainab agar segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Madinah. Abul ‘Ash pun turut menyiapkan perbekalan dan kendaraan untuk kepergian istrinya tersebut. Ia lalu menyuruh adiknya, Amru ibn Rabi’, untuk mengantar Zainab dan menyerahkannya pada utusan Rasulullah yang sudah menunggu tidak jauh di luar kota Makkah.
Amru ibn Rabi’ menyambut perintah kakaknya itu. Serta merta ia menyandang busur dan membawa sekantong anak panah, lalu dinaikkannya Zainab ke Haudaj. Mereka pergi ke luar Makkah di tengah hari, di depan muka kaum Quraisy. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy marah, dan berupaya menyusul keduanya, lalu mengancam dan menakut-nakuti Zainab. Mereka mendapati Amr dan Zainab di Dzi Thuwa. Salah satu dari mereka yang pertama kali mampu menyusul keduanya adalah Habbar bin Aswad bin Muthallib bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushayyi dan Nafi’ bin Abdul Qais Az-Zuhri (ada yang mengatakan Nafi’ bin Abdi ‘Amr).
Habbar yang datang dengan menghunus pedang sangat menggetarkan perasaan Zainab yang berada di sekedupnya. Saat itu, ia sedang hamil. Gangguan dan ancaman Habbar membuatnya jatuh terpelanting dari sekedupnya yang mengakibatkan kandungannya gugur. Ini merupakan musibah berat yang dihadapi Zainab karena gangguan mereka membuat beliau sering sakit-sakitan yang akhirnya menjadi sebab kematian beliau. Oleh karena itu, sang ayah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada para shahabatnya,
إِنْ لَقِيْتُمْ هَبَّارَ بنَ الأَسْوَدِ، وَنَافِعَ بنَ عَبْدِ عَمْرٍو، فَأَحْرِقُوْهُمَا
“Jika kamu sekalian bertemu Habbar bin Aswad dan Nafi’ bin Amr, bakarlah keduanya!
وَكَانَا نَخَسَا بِزَيْنَبَ بِنْتِ رَسُوْلِ اللهِ حِيْنَ خَرَجَتْ، فَلَمْ تَزَلْ ضَبِنَةً حَتَّى مَاتَتْ
Karena keduanya telah menyakiti Zainab, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia keluar ke Madinah hingga akhirnya ia terus sakit-sakitan sampai meninggal dunia.” (HR. Muhammad bin Utsman bin Syaibah dalam At-Tarikh, Ibnu Ishaq dalam As-Sirah dan Ibnu Hisyam dalam As-Sirah, dengan sanad yang kuat) (Siyaru A’lam An-Nubala’, II/247)
Akan tetapi, ‘Amr ibn Rabi’, dengan panah yang telah ia siapkan, berkata keras kepada orang-orang Quraisy tersebut, “Siapa mendekat, aku panah batang lehernya!”
Suasana menjadi tegang. Perkataan ‘Amr bukanlah main-main karena suku Quraisy telah mengenalnya sebagai pemanah ulung yang tidak pernah meleset bidikannya. Di tengah-tengah suasana seperti itu, berkatalah Abu Sufyan ibn Harb, “Wahai anak saudaraku, letakkan panahmu! Kami akan bicara denganmu.”. 'Amr pun meletakkan panahnya.
Abu Sufyan berkata lagi, “Perbuatanmu ini tidak betul hai ‘Amr. Engkau membawa Zainab keluar dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang ‘Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badr dan musibah yang ditimpakan bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab ke luar secara terang-terangan begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah, dan tidak berdaya. Alangkah hinanya itu!!!
Oleh karena itu, bawalah Zainab kembali kepada suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Jangan di siang bolong seperti ini! Engkau boleh mengantarkannya kepada bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.”
‘Amr menyetujui saran Abu Sufyan. Dia mengantar Zainab kembali ke rumahnya di Makkah. Selang beberapa hari kemudian, di tengah malam, ‘Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi lalu meyerahkannya kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tangan ke tangan, sebagaimana pesan Abul ‘Ash.
Dalam Majma’ Zawaid disebutkan bahwa tatkala warga Makkah sudah tenang dan tidak lagi membicarakan perihal Zainab, Amr keluar bersama Zainab di waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.
Akhirnya, Abul Ash pun berpisah dengan istrinya. Dalam masa perpisahan ini, tiada satupun yang sangat Zainab harapkan selain hidayah Islam merasuk kepada kekasih yang sangat ia cintai itu. Zainab senantiasa memohon kepada Allah agar Abul Ash segera memeluk agama Islam. Perpisahan ini demikian lama, berlangsung beberapa tahun hingga menjelang Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah).
Awal Mula Pertemuan setelah Perpisahan yang Lama
Abul Ash adalah seorang pedagang dan biasa berdagang ke negeri Syam. Kegiatan perdagangan inilah yang dilakukannya setelah ia berpisah dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Suatu ketika, menjelang terjadinya Fathu Makkah, dalam perjalanan pulang Abul Ash dari Syam ke Makkah, kafilahnya dicegat pasukan patroli Rasulullah. Ketika itu, Abul Ash membawa seratus onta yang penuh dengan muatan dan seratus tujuh puluh personil yang menggiring unta-unta tersebut.
Namun, Abul Ash masih beruntung karena ia berhasil lolos dari sergapan patroli Madinah. Kemudian, dengan sembunyi-sembunyi ia menyusup ke kota Madinah di kala hari telah gelap. Ia berhasil mendapati rumah Zainab, lalu minta perlindungan kepadanya. Zainab pun memberi perlindungan kepada Abul Ash.
Setelah itu, ketika Nabi hendak menunaikan shalat shubuh dan beliau sudah sudah berdiri di mihrab, lalu takbir dan takbirnya diikuti para shahabat, Zainab berteriak dengan sekuat-kuatnya dari tempat khusus wanita,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّي قَدْ أَجَرْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ
“Hai manusia! (Saya Zainab binti Muhammad). Abul Ash minta perlindungan kepada saya. Oleh karena itu, saya melindunginya.“
Setelah Nabi usai melakasanakan shalat, Nabi berkata kepada para shahabatnya,
«أَيُّهَا النَّاسُ هَلْ سَمِعْتُمْ مَا سَمِعْتُ؟»
“Apakah tuan-tuan mendengar suara Zainab?“
Para shahabat menjawab, “Kami mendengarnya wahai utusan Allah“
Nabi berkata lagi,
«أَمَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ مَا عَلِمْتُ بِشَيْءٍ كَانَ حَتَّى سَمِعْتُ مِنْهُ مَا سَمِعْتُمْ، إِنَّهُ يُجِيرُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَدْنَاهُمْ»
“Demi Allah Yang jiwaku dalam genggaman-Nya. Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali setelah mendengar teriakan Zainab.“
Kemudian, Nabi mendatangi rumah Zainab, kemudian berkata kepada putrinya tersebut,
«أَيْ بُنَيَّةُ، أَكْرِمِي مَثْوَاهُ، وَلَا يَخْلُصُ إِلَيْكِ فَإِنَّكَ لَا تَحَلِّينَ لَهُ»
“Hormatilah Abul ‘Ash! Akan tetapi, ketahuilah! Engkau tidak lagi halal baginya.“
Setelah itu, Nabi memanggil pasukan patroli Madinah yang telah menyergap kafilah dagang Abul Ash, lalu beliau berkata kepada mereka,
«إِنَّ هَذَا الرَّجُلَ مِنَّا حَيْثُ قَدْ عَلِمْتُمْ وَقَدْ أَصَبْتُمْ لَهُ مَالًا، فَإِنْ تُحْسِنُوا تَرُدُّوا عَلَيْهِ الَّذِي لَهُ، فَإِنَّا نُحِبُّ ذَلِكَ، وَإِنْ أَبَيْتُمْ ذَلِكَ فَهُوَ فَيْءُ اللَّهِ الَّذِي أَفَاءَهُ عَلَيْكُمْ فَأَنْتُمْ أَحَقُّ بِهِ»
“Sebagaimana kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah famili kami. Kalian telah merampas hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang kami sukai. Akan tetapi, jika kalian enggan mengembalikan, itu adalah hak kalian karena harta itu adalah rampasan perang diberikan Allah kepada kalian. Kalian berhak mengambilnya.“
Mendengar perkataan Nabi tersebut, para shahabat justru mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، بَلْ نَرُدَّهُ عَلَيْهِ
“Kami kembalikan wahai utusan Allah…”(HR. Al-Hakim no. 5038)
Mengetahui para shahabat nabi ingin mengembalikan hartanya, Abul Ash mendatangi mereka untuk mengambil hartanya tersebut. Ketika Abul Ash sampai di hadapan para shahabat Nabi, para shahabat berkata,
“Wahai Abul ‘Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak paman ingakan serahkan harta ini semuanya kepadanu. Engkau akan dapat menikmati harta penduduk Makkah yang Engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah“
Kalau kita lihat sepintas, tawaran para shahabat ini demikian menguntungkan Abul Ash. Namun, lihatlah betapa tinggi dan luhur pekerti serta kemormatan Abul Ash dalam sikap Abul Ash berikut ini:
Abul Ash menolak tawaran para shahabat seraya berkata,
“Usul kalian sangat jelek dan tidak pantas. Aku harus membayar hutang-hutangku segera“
Lalu, Abu ‘Ash membawa kembali harta bendanya menuju Makkah. Kemudian, begitu ia sampai di Makkah, ia segera membayarkan hutang-hutangnya kepada setiap yang berhak menerimanya. Setelah itu, ia bekata kepada penduduk Makkah,
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ، هَلْ بَقِيَ لِأَحَدٍ مِنْكُمْ عِنْدِي مَالٌ لَمْ يَأْخُذْهُ؟
“Hai kaum Quraisy! Masih adakah yang belum menerima pembayaran dariku?“
Penduduk Makkah serta merta menjawab seruan itu,
لَا فَجَزَاكَ اللَّهَ خَيْرًا، فَقَدْ وَجَدْنَاكَ وَفِيًّا كَرِيمًا
“Tidak! Semoga Allah membalasmu dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran darimu secukupnya.”
Abul ‘Ash lalu berkata,
فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنَّ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَمَا مَنَعَنِي مِنَ الْإِسْلَامِ عِنْدَهُ إِلَّا تَخَوُّفًا أَنْ تَظُنُّوا أَنِّي إِنَّمَا أَرَدْتُ أَخْذَ أَمْوَالِكُمْ، فَلَمَّا أَدَّاهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكُمْ وَفَرَغْتُ مِنْهَا أَسْلَمْتُ
“Sekarang ketahuilah, aku telah aku telah membayar hak kamu masing-masing secukupnya. Maka, kini dengarkan! Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku kalau kalian menyangka, aku masuk Islam karena hendak memakan harta kalian. Kini, setelah Allah membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.” (HR. Al-Hakim no. 5038)
Setelah itu, Abul ‘Ash keluar dari Makkah untuk menemui Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah pun menerima dan menyambut kedatangannya, serta menyerahkan kembali istrinya, Zainab ke dalam naungannya.
Di antara kemuliaan Abul Ash adalah apa yang disabdakan Nabi Muhammad berikut ini,
“Dia berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi janjinya.”
Namun, kebahagiaan Abul ‘Ash dalam merasakan kesejukan sang istri tercinta setelah waktu perpisahan yang begitu panjang tidaklah berlangsung lama. Ia dapati lagi perpisahan berikutnya yang tidak mungkin lagi datang pertemuan berikutnya. Perpisahan itu ialah kepergian Zainab meninggalkan dunia ini, tepatnya pada tahun 8 hijriah.
Catatan:
1. Zainab radhiyallahu ‘anha adalah putri sulung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Suaminya, Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah keponakan dari Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Ibunya Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah Halah binti Khuwailid, saudari perempuan dari Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
2. Dari pernikahan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan Abul ‘Ash bin Rabi’ lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ali dan seorang anak perempuan yang diberi nama Umamah. Ali bin Abul ‘Ash bin Rabi’ meninggal saat masih kanak-kanak. Adapun Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah cucu yang sering digendong oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam saat mengimami di masjid nabawi. Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabi’ dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah meninggalnya bibinya, Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
3. Zainab radhiyallahu ‘anha diantarkan ke Madinah pasca perang Badar tahun 2 H. Abul ‘Ash bin Rabi’ masuk Islam dan berhijrah ke Madinah pada bulan Muharram tahun 7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian mengembalikan Zainab kepada Abul ‘Ash bin Rabi’ sesuai pernikahan pertama mereka, tanpa mengadakan akad nikah baru dan mahar baru. Jarak perpisahan tersebut adalah enam tahun.
Ulama tabi’in, Qatadah bin Da’amah As-Sadusi, berkata: “Kemudian diturunkan surat Bara-ah (At-Taubah) setelah itu. Setelah turunnya surat itu jika seorang wanita masuk Islam sementara suaminya belum masuk Islam, maka suaminya tidak bisa kembali kepada istrinya kecuali dengan lamaran baru (kemudian akad nikah baru dan mahar baru, pent). Keislaman wanita itu menjadi talak bain (talak tiga, pent).” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/27)
4. Menurut sebagian ulama hadits dan sejarah, seperti imam Al-Hakim, menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang mengantarkan Zainab bernama Amru bin Rabi’. Sementara itu sebagian ulama hadits dan sejarah, seperti Ibnu Sa’ad, menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang mengantarkan Zainab bernama Kinanah bin Rabi’.
5. Zainab radhiyallahu ‘anha wafat pada awal tahun 8 H. Dengan demikian rumah tangga Zainab dan Abul ‘Ash di Madinah berjalan kurang lebih selama satu tahun.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 2/246-250.
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, 3/262 no. 5037 dan 5038.
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/25-29.
1. Zainab radhiyallahu ‘anha adalah putri sulung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dan Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Suaminya, Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah keponakan dari Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Ibunya Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah Halah binti Khuwailid, saudari perempuan dari Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha.
2. Dari pernikahan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan Abul ‘Ash bin Rabi’ lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ali dan seorang anak perempuan yang diberi nama Umamah. Ali bin Abul ‘Ash bin Rabi’ meninggal saat masih kanak-kanak. Adapun Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabi’ adalah cucu yang sering digendong oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam saat mengimami di masjid nabawi. Umamah binti Abul ‘Ash bin Rabi’ dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu setelah meninggalnya bibinya, Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
3. Zainab radhiyallahu ‘anha diantarkan ke Madinah pasca perang Badar tahun 2 H. Abul ‘Ash bin Rabi’ masuk Islam dan berhijrah ke Madinah pada bulan Muharram tahun 7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian mengembalikan Zainab kepada Abul ‘Ash bin Rabi’ sesuai pernikahan pertama mereka, tanpa mengadakan akad nikah baru dan mahar baru. Jarak perpisahan tersebut adalah enam tahun.
Ulama tabi’in, Qatadah bin Da’amah As-Sadusi, berkata: “Kemudian diturunkan surat Bara-ah (At-Taubah) setelah itu. Setelah turunnya surat itu jika seorang wanita masuk Islam sementara suaminya belum masuk Islam, maka suaminya tidak bisa kembali kepada istrinya kecuali dengan lamaran baru (kemudian akad nikah baru dan mahar baru, pent). Keislaman wanita itu menjadi talak bain (talak tiga, pent).” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/27)
4. Menurut sebagian ulama hadits dan sejarah, seperti imam Al-Hakim, menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang mengantarkan Zainab bernama Amru bin Rabi’. Sementara itu sebagian ulama hadits dan sejarah, seperti Ibnu Sa’ad, menyatakan bahwa saudara Abul ‘Ash bin Rabi’ yang mengantarkan Zainab bernama Kinanah bin Rabi’.
5. Zainab radhiyallahu ‘anha wafat pada awal tahun 8 H. Dengan demikian rumah tangga Zainab dan Abul ‘Ash di Madinah berjalan kurang lebih selama satu tahun.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam An-Nubala’, 2/246-250.
Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, 3/262 no. 5037 dan 5038.
Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubra, 8/25-29.
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik