
"Kami tidak dapat menyalakan kipas angin karena listrik telah diputus," Abu Khaled Abu Arab seorang pekerja konstruksi mengatakan kepada kantor berita Bernama pada hari Senin, 30 Juli, sebagaimana diberitakan oleh onislam.net.
"Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini."
1,6 juta warga Gaza harus rela hidup tanpa listrik dalam sepertiga hari setiap harinya selama bulan Ramadhan ini. Pasokan listrik di Gaza sangat kurang terutama setelah rusaknya infrastruktur dalam serangan besar Israel tahun 2008. Israel membombardir pembangkit listrik yang ada di Jalur Gaza hingga menghancurkan 6 transformator dan hanya 1 yang masih bisa beroperasi. Situasi ini menambah cobaan muslim Gaza karena Ramadhan, yang dimulai pada 20 Juli, jatuh di musim panas.
Tinggal di sebuah rumah pengap di kamp pengungsi Shatii, rumah bagi 65.000 pengungsi, Abu Khaled dan lima anaknya harus berbuka puasa Ramadhan dengan cepat sebelum suasana pengap dan panas menerpa. Setidaknya, ia menemukan udara segar di luar rumah yang sederhana untuk melarikan diri dari panas terik di rumah yang terdiri dari dua kamar itu.
"Selama waktu berbuka kami harus menghapus keringat setiap saat, bukannya menikmati makanan," kata Abu Khaled.
Karena setiap malam ada pemadaman listrik, maka saat berbuka dan sahur akan terdengar suara raungan generator listrik di setiap sudut kota dan di kamp-kamp pengungsian. Namun, karena kelangkaan dan mahalnya harga bahan bakar, warga Gaza banyak yang tidak bisa menjalankan generator mereka.
"BBM sangat mahal sekarang," kata Abu Khaled, 43.
"Saya harus berhemat untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga saya," katanya, merujuk pada krisis bahan bakar di daerah Gaza.
Harga bahan bakar naik dua kali lipat dari tahun lalu. Krisis bahan bakar meningkat ketika Mesir memutuskan untuk mengurangi jumlah bahan bakar yang dikirim ke Gaza.
Bagi kebanyakan warga Gaza, pantai adalah tempat istimewa untuk melepas kepenatan. Saat matahari terbenam, Murad Sayed mulai mempersiapkan buka bersama di pantai dengan keluarganya. Dengan tidak adanya listrik yang tersedia di rumahnya, mereka berkunjung ke pantai untuk mengatasi cuaca terik panas di rumah.
"Berbuka puasa di pantai jauh lebih baik dari pada di rumah," kata Sayed anak tertua, Ahmed, yang berusia 12 tahun.
"Di rumah, kami tersiksa karena tidak ada listrik, tidak ada cahaya dan tidak ada kipas angin."
[muslimdaily.net]
Silahkan berkomentar
Gunakan sopan santun sebagai tanda orang yang berakhlaq baik